... Ternyata DIA Memang BIDADARI ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... “Subhanallah… aku tak mengira bahwa kau
adalah bidadari yang diturunkan Allah untukku. Allah menurunkanmu bukan
untuk kumiliki, tetapi Hari ini ia sengaja datang ke kampus lebih pagi.
Selain karena tak ingin terlambat di kuliah pertama, ia ada janji
bertemu dengan Ustdz. Faridz di musholla kampus. Dia tegakkan dua rakaat
shalat Tahiyatul Masjid, disusul dengan 4 rakaat shalat Dluha. Lalu dia
tengadahkan tangan melantunkan doa. Dia menyambung ibadah paginya
dengan tilawah tartil sambil menunggu Ustdz. datang. Seorang kawan
menghampirinya. Dia tutup tilawahnya setelah menyelesaikan satu pojok.
“Assalamualaikum Akh Ilham…” sapa sang kawan ramah. “Waalikumussalam
warahmatullah… apa kabar akhi?” jawabnya sambil tak lupa bertanya kabar.
“Akh, di sini ada bidadari.” Bidadari…..? Darahnya berdesir. Ah, bidadari, kesannya indah.
“Alhamdulillah ana bikhoiir… antum sendiri gimana? Kabarnya udah siap
nikah nih…” mata sang kawan mengerling menggodanya. Dia cuma tersenyum,
tak berniat menanggapi gurauannya.
“Sini, ana tunjukkan
orangnya. Ini akhwat luar biasa, anak kedokteran, prestasinya brilian,
aktivis kampus, ketua pembinaan dan kaderisasi akhwat, akhlaknya
mengagumkan, ibadahnya tak diragukan. Dia pembina adik ane. Cocok banget
sama antum!” kawannya menjelaskan panjang lebar, membuatnya penasaran.
Lalu, telunjuknya mengarah ke sosok seorang akhwat. Tak lama, yang dibilang bidadari itu sudah terlihat jelas.
“Masya Allah… itu yang dibilang bidadari? Mana ada bidadari hitam
legam? Yang kubaca dalam Ibnu Katsir, bidadari itu cantik sekali,
kulitnya putih transparan seperti putih telur. Eh, mana ada di dunia
yang begitu ya.. paling ga, kuning langsatlah. Masa black begitu. Black
sweet sih masih banyak yang mau, ini aku belum lihat sweetnya.” Dia
menggerutu dalam hati. Tak berminat meneruskan percakapan.
“Akh, ane ke perpustakaan dulu yaa.. bidadari itu, buat antum aja.” Dia berpamitan.
“lho… sama ane mah ga sekufu akh!”
“Ya udah, assalamualaikum.” Ilham beranjak meninggalkan kawannya. Baru
beberapa langkah, seorang marbot memanggilnya. Dan menyerahkan amplop
putih titipan dari Ustdz. Faridz. Ustdz tidak bisa datang, makanya
amplop itu ia titipkan.
“Hmm… ini biodata akhwat yang
dijanjikan Ustdz.” langkahnya mantap menuju perpustakaan, tempat paling
aman untuk membuka dan membaca biodatanya.
Dia duduk di sana,
mengatur nafasnya yang terengah, bukan karena capek, tapi sibuk menahan
deburan dalam dada. Perlahan dia membuka amplop itu, sengaja ia
tinggalkan selembar foto di dalamnya, dia akan melihatnya nanti.
“Bismillahirrahmaanirrahiim… “ dia kuatkan hati membaca susunan huruf
demi huruf dalam biodata. “Akhwat luar biasa, usianya, dua tahun
dibawahku, lumayan, lebih muda. Pendidikan, kedokteran umum XX (sedang
koas), Alhamdulillah… ayah dan ummi pasti senang sekali. Sepertinya pas
untukku.” Gumannya bahagia. Dia berbunga-bunga. Lalu, diambilnya
selembar foto di dalam amplop, ah… sebentar, biar kutenangkan diri…
Bismillah…
Ah… kenapa akhwat ini?? Keluhnya. Bunga-bunga yang
tadi bermekaran luruh satu persatu, beterbangan diterpa angin. Lunglai
tubuhnya seolah tak bertenaga. Sesak memenuhi rongga dada.
Kenapa akhwat ini yang disodorkan padaku? Dia kembali mengeluh.
Terbayang kembali akhwat berkulit legam dan sama sekali tidak cantik
menurut ukurannya. “Semoga ia bukan jodohku..” doanya lancang. Ustadz…
masa sih nyariin aku kayak gini? Kalau kayak gini sih.. aku juga bisa
nyari sendiri. Congkak mulai merasuk.
Dikeluarkannya selembar
foto. Foto diri yang sangat dibanggakan. Dia menatap mata elang yang
mengagumkan. Hidung yang mancung, bentuk muka yang menawan. “Apakah
salah jika aku menginginkan akhwat sholihah yang cantik?” Dia mendesah
resah.
Dia Memang Bidadari
Ilham berusaha menyerahkan
semua keputusan pada Allah. Ia akan berikhtiar dengan wajar dan berdoa
dengan kesungguhan. Walau ia belum punya kemantapan namun ia akan
mengosongkan perasaan buruk di hatinya. Ia akan berangkat dengan
perasaan netral. Ia ingin semua langkah dimulai dengan kebersihan hati,
kelurusan niat, ketergantungan yang besar pada Allah, dan kesungguhan
ikhtiar. Ia tak ingin mengedepankan nafsu apalagi diiringi segala
penyakit yang mengusamkan kalbu.
Taaruf yang ia jalani, bersama
ukhti Dede —–nama akhwat yang disodorkan Ustdz. Faridz—– sangat wajar
dan biasa saja. Ia didampingi Ustdz. Faridz, sedangkan Dede didampingi
istri beliau. Komunikasi berjalan dengan baik, penyatuan persepsi
lancar, pengungkapan kondisi keluarga dan latar belakangnya juga lancar.
Ilham merasakan ada yang menarik hatinya. Wajah berkulit hitam itu
memendarkan cahaya. Benar kata adiknya, jika berbicara sedap dipandang
dan didengar. Inilah relativitas kecantikan, meski ada kecantikan yang
diakui semua orang.
Ilham sempat deg-degan dan merasa was-was ikhtiarnya akan gagal ketika orangtua Dede mengujinya.
“Abah sudah dengar tentang kebaikan akhlak dan aktivitasmu. Sekarang
Abah ingin mendengar langsung bacaan Quranmu. Abah tak akan menyerahkan
putri Abah pada seseorang yang tidak bagus bacaan Qurannya.” Begitulah
ujiannya. Alhamdulillah semua lancar dan ia diterima meski banyak
catatan.
Hingga tibalah waktu yang dinanti. Hari ini seharusnya
Ilham dan keluarganya datang untuk mengkhitbah Dede. Hari ini
seharusnya rombongan berangkat dengan wajah berseri. Namun, Allah
membuat rencana yang sangat berbeda. Ilham yang semalam penuh diliputi
senyum simpul, kini banyak menunduk dan beristighfar.
Sungguh
siapa sangka, lamaran kali ini gagal. Dede, sang aktivis dakwah yang
telah menjual diri dan jiwanya untuk berjihad fii sabiilillah, pulang ke
rumah orang tuanya, bukan untuk dilamar, melainkan untuk dimakamkan.
Takdir Allah terjadi atasnya. Selama ini ia giat berdakwah di sebuah
desa tertinggal. Desa yang dahulu nyaris kehilangan keislamannya,
bergairah kembali dengan pembinaan rutin dari Dede dan kawan-kawannya.
Rupanya, hal itu tidak disenangi oleh misionaris yang selama ini hampir
berhasil memurtadkan penduduk desa itu.
Dia dibunuh, dalam
perjalanannya sepulang dari baksos di desa itu. Dan ia dibunuh, karena
mempertahankan akidahnya. Karena mereka tidak berhasil memaksanya untuk
menukar keyakinannya dan meninggalkan aktivitas dakwahnya.
Ilham tercenung menatap tanah merah basah di pekuburan itu. Di dalamnya
bersemayam jasad sang mujahidah. Bidadari yang hendak disuntingnya.
Semilir angin menghembuskan wangi kesturi, wangi para syuhada.
Dalam desahnya ia bergumam,
“Kau ternyata wanita agung. Kau lebih mulia daripada bidadari. Seorang
Ilham tak diizinkan Allah untuk sekedar mengkhitbahmu, apalagi
memilikimu. Maafkan aku, yang dulu sempat sombong terhadapmu.” Wajahnya
tertunduk dalam.
“Subhanallah…” aku tak mengira bahwa kau
adalah bidadari yang diturunkan Allah untukku. Allah menurunkanmu bukan
untuk kumiliki, tetapi untuk menegurku dari segala kesombongan.”
Gumamnya penuh penyesalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar