TUGAS TERSTRUKTUR
ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK
(DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN
LANDASAN)

Disusun
Oleh :
KELOMPOK
1
Susanto
|
|
P2FB12017
|
Regas Febria
Yuspita
|
|
P2FB12004
|
Rahmat Imanda
|
|
P2FB12021
|
Ary Yuliastri
|
|
P2FB12008
|
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
MAGISTER ILMU ADMINISTRASI
PURWOKERTO
2012
Etika Administrasi Publik
(Definisi, Urgensi, Perkembangan, dan
Landasan)
Oleh :
Kelompok 1
Pendahuluan
Etika administrasi publik pertama kali muncul pada masa
klasik. Hal ini disebabkan karena teori administrasi publik klasik (Wilson,
Weber, Gulick, dan Urwick) kurang memberi tempat pada pilihan moral (etika). Pada teori klasik kebutuhan moral
administrator hanyalah merupakan keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari
secara efisien. Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik pun tidak
hanya harus efisien, tapi juga harus dapat mendefinisikan kepentingan publik,
barang publik dan menentukan pilihan-pilihan kebijakan atau tindakan secara
bertanggungjawab. Padahal etika merupakan dimensi yang penting dalam
administrasi publik.
Etika ini
mempunyai peran yang sangat strategis karena etika dapat menentukan
keberhasilan atau pun kegagalan dalam tujuan organisasi, struktur organisasi,
serta manajemen publik. Etika berhubungan dengan bagaimana sebuah
tingkah laku manusia sehngga bisa dipertanggungjawabkan. Dalam melaksanakan
tugas – tugas yang ada di dalam administrasi publik, maka seorang administator
harus mempunyai tanggung jawab kepada publik. Dalam perwujudan tanggung jawab
inilah etika tidak boleh di tinggalkan dan memang harus digunakan sebagai
pedoman bertingkah laku. Untuk lebih jelasnya mengenai etika administrasi
publik akan penulis jelaskan di bawah ini.
Definisi Etika Administrasi Publik
Dalam Ensiklopedi Indonesia, etika
disebut sebagai “Ilmu tentang kesusilaan yang
menentukan bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat; apa yang
baik dan apa yang buruk”. Sedangkan secara etimologis, Etika
berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang
berarti kebiasaan atau watak. Etika menurut bahasa Sansekerta lebih
berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik
(su). Etika menurut Bertens dalam (Pasolong, 2007:190) adalah kebiasaan, adat
atau akhlak dan watak. Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa masalah etika selalu
berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau
dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak yang baik maupun
kebiasaan atau watak buruk. Watak baik yang termanifestasikan dalam
kelakuan baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau
sepatutnya. Sedangkan watak buruk yang
termanifestasikan dalam kelakuan buruk, sering dikatakan
sebagai sesuatu yang tidak patut patut
atau tidak sepatutnya.
Dalam lingkup pelayanan publik, etika administrasi publik (Pasolong, 2007 :193) diartikan sebagai
filsafat dan professional standar (kode
etik) atau right rules of conduct (aturan
berperilaku yang benar) yang sehatursnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik
atau administrasi publik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika
administrasi publik adalah aturan atau standar pengelolaan, arahan moral bagi
anggota organisasi atau pekerjaan manajemen ; aturan atau standar pengelolaan
yang merupakan arahan moral bagi administrator publik dalam melaksanakan
tugasnya melayani masyarakat. Aturan atau standar dalam etika administrasi
negara tersebut terkait dengan kepegawaian, perbekalan, keuangan,
ketatausahaan, dan hubungan masyarakat.
Urgensi Etika Administrasi Publik
Pentingnya etika
administrasi publik tersebut adalah sebagai berikut (Henry, 1995: 400). Alasan pertama
adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh
pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab. Dalam memberikan
pelayanan ini pemerintah diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan
harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa,
berapa banyak, di mana, kapan, dan sebagainya. Padahal, kenyataan menunjukkan
bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan
atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua
aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan
publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa
kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih
tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak
memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada
“otonomi dalam beretika”.
Alasan kedua lebih
berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu
sendiri. Alasan ketiga berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang
terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan
pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan
prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan
menghasilkan ketidakadilan, di mana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari
daerah tertentu yang relatif lebih maju.
Alasan keempat
adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang
berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak
sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas
sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai
cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketiakmenentuan
ini mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional
yang didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi
pelayanan publik atau
aparat pemerintah untuk bertindak
tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.
Perkembangan Etika Administrasi Publik
Terbentuknya etika
administrasi publik tidak terlepas dari kondisi yang ada di dalam masyarakat
yang bersangkutan, sesuai dengan aturan, norma, kebiasaan atau budaya di
tengah-tengah masyarakat dalam suatu komunitas tertentu. Nilai-nilai yang ada
dan berkembang di dalam masyarakat mewarnai sikap dan perilaku yang nantinya
dipandang etis atau tidak etis dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan
yang merupakan bagian dari fungsi aparat birokrasi itu sendiri.
Munculnya etika sebagai suatu pedoman bertingkah laku dapat
terbentuk dalam dua macam proses, yaitu :
1.
Secara alamiah
terbentuk dari dalam (internal) diri
manusia karena pemahaman dan keyakinan terhadap suatu nilai-nilai
tertentu (khususnya agama / religi).
2.
Diciptakan oleh aturan-aturan
eksternal yang disepakati secara kolektif, misalnya sumpah jabatan,
disiplin, dan sebagainya. Sumpah jabatan dan peraturan disiplin PNS, pada
gilirannya akan membentuk etika birokrasi. Sedangkan kasus Singapura
menunjukkan bahwa etika berdisiplin (antri, membuang sampah)
dibentuk oleh denda yang sangat besar
bagi pelanggarnya.
Sementara itu, implementasi etika
sebagai suatu pedoman bertingkah laku juga dapat dikelompokkan menjadi
dua aspek, yakni internal (kedalam) dan eksternal (keluar). Dari aspek
‘kedalam’, seseorang akan selalu bertingkah laku baik meskipun tidak ada
orang lain disekitarnya. Dalam hal ini, etika lebih
dimaknakan sebagai moral. Sedangkan dalam
aspek ‘keluar’, implementasi Etika akan berbentuk
sikap/perbuatan/perilaku yang baik dalam kaitan interaksi dengan orang /
pihak lain.
Landasan Etika Administrasi Publik
Terdapat beberapa
landasan etika dalam menentukan baik dan buruk. Di antaranya adalah
aliran sosialisme, hedonisme,
intuisisme, utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evoulusisme.
1.
Aliran sosialisme ;
Menurut aliran ini baik dan buruk ditentukan berdasarkan adat istiadat
yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan
berpegang teguh pada adat dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak
mengikuti adat istiadat dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.
2.
Aliran hedonisme ; (Hedone =
perasaan akan kesenangan)
Perbuatan yang
dianggap baik adalah yang mendatangkan kesenangan, kenikmatan atau rasa
puas kepada manusia. Inti
dari paham ini yaitu perbutan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan
kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini tidak
mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan melainkan ada pula yang
mendatangkan kepedihan, dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang
harus dilakukan, maka yang dilakukan adalah mendatangkan kelezatan.
3.
Aliran intuisisme ;
Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan
insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang.
Kekuatan batin ini terkadang berbeda refleksinya, karena pengaruh masa dan
lingkungan, akan tetapi ia dasarnya tetap sama dan berakar pada tubuh manusia.
Apabila ia melihat sesuatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat
memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya.
4. Aliran utilitarianisme ;
Secara harfiah utilis berarti berguna. Perbuatan yang dianggap baik
secara susila ialah “guna / manfaat”. Penganjut utamanya adalah Jeremy Bentham yang mengatakan
bahwa the greatest happiness of the greatest number, dan John Stuart Mill.
Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang berguna. Jika ukuran ini
berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika berlaku bagi masyarakat
dan negara disebut sosial. Sempalan dari
ajaran ini antara lain adalah aliran pragmatisme,
empirisme, positivisme, dan neo positivisme (scientisme).
5.
Aliran vitalisme ;
Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup
manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang
menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih
lanjut cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hukum siapa yang kuat dan
manag itulah yang baik.
6.
Aliran religiusisme ;
Menurut paham ini yang
dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan
perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam
paham ini keyakinan teologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang
peranan penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai dengan kehendak
Tuhan, jika yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya.
7.
Aliran evoulusisme ;
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada
di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju
kesempurnaanya. Pendapat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang
tampak, seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga benda yang
tak dapat dilihat atau diraba oleh indera, seperti akhlak dan moral.
8.
Aliran-aliran lainnya : (a) Humanisme, (b)
Liberalisme, (c) Individualisme, dan (d) Idealisme; dari bahasa Inggris yaitu Idealism
dan kadang juga dipakai istilahnya mentalisme atau imaterialism. Pengertian idealisme di antaranya adalah
adanya suatu teori bahwa alam semesta beserta isinya adalah suatu penjelmaan
pikiran; untuk menyatakan eksistensi realitas, tergantung pada suatu pikiran
dan aktivitas-aktivitas pikiran.
Penerapan Etika Administrasi Publik
Etika administrasi
publik dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi bagi para birokrasi
publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya yaitu American Society for Administration (ASPA).
1.
Pelayanan
kepada masyarakat yaitu pelayanan di atas pelayanan kepada diri sendiri;
2.
Rakyat
yang berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah dan pada
akhirnya bertanggung jawab kepada rakyat
3.
Hukum
mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah
4.
Manajemen
yang efektif dan efisien merupakan dasar bagi birokrasi
5.
Sistem
penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas iktikad baik akan
didukung, dijalankan dan dikembangkan
6.
Perlindungan
terhadap kepercayaan rakyat sangat penting, konflik kepentingan, penyuapan,
hadiah, atau faviritisme yang merendahkan jabatan publik untuk kepentingan
pribadi tidak diterima
7.
Pelayanan
kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan,
keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi dan kasih sayang
8.
Hati
nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan
9.
Para
administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang tidak etis,
tetapi juga untuk mengusahakan hal yang etis melalui pelaksanaan tanggung jawab
dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya.
Etika administrasi
tersebut di atas belum cukup untuk menjamin untuk menghapus perilaku korupsi,
kolusi dan nepotisme pada birokrasi publik.
Daftar Pustaka
Henry,S. 1995. Kinerja dalam Organisasi. Yogyakarta:Kanisius.
Keban, Yeremias. T.
2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi
Publik, Konsep, Teori, dan Isu. Yogyakarta. Gava Media.
Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung :
Alfabeta
Referensi dari landasan etika administrasi publik di atas dari buku yang mana ya? terimakasih
BalasHapusGood
BalasHapus