Langsung ke konten utama

3 Alasan Utama Mengapa Saya Memilih Jalur Entrepreneur




Masih segar terbayang di ingatan ketika saya meraih posisi Direktur di perusahaan asuransi asing tempat saya bekerja. Pada waktu itu tahun 1999 dan saya berumur 36 tahun. Saya merasa di puncak karir yang selama ini saya tekuni. Bagaimana tidak, posisi Direktur adalah posisi bergengsi yang bisa saya raih hanya dalam kurun waktu 4 tahun bekerja di perusahaan. Sebelum pindah ke perusahaan asuransi, saya bekerja di bank asing (sekarang adalah BNP Paribas) sebagai manajer Corporate Banking. Melihat industri asuransi yang berkembang pada saat itu (tahun 1995), saya menerima tawaran menjadi manajer di divisi Credit Life dengan bayaran yang lebih menggiurkan.

Bekerja sebagai karyawan adalah satu-satunya pilihan setelah saya lulus dari universitas. Meski lulus sebagai sarjana dari Amerika Serikat, menjadi entrepreneur bukanlah hal yang mudah. Pendidikan di universitas hanya berpatokan pada konsep dan teori, tetapi tidak mengajarkan bagaimana memulai bisnis. Ditambah dengan kondisi tidak mempunyai modal dan minim pengalaman, sehingga menjadi entrepreneur hanyalah sebuah impian belaka saat itu. Maka itu, tempat belajar yang paling cocok adalah bekerja dahulu di perusahaan asing untuk menimba pengalaman yang berharga, karena perusahaan asing mempunyai standar operasional prosedur yang baik dan sudah established (terutama di industri bank dan asuransi).

Setelah menduduki posisi Direktur selama 3 tahun, saya merasa ada yang kurang. Meski banyak prestasi yang saya torehkan di perusahaan sehingga kenaikan gaji tetap baik dan posisi menjadi Vice President Director (VPD), ternyata saya merasa mentok, bosan, dan tidak mendapatkan kepuasan kerja total. Meski terasa aneh, tetapi hal itulah yang saya rasakan.

Tiba-tiba terbayang, apa yang akan terjadi pada saya apabila menginjak umur 50 tahun atau mendekati umur pensiun? Apakah saya tetap di posisi direksi, atau pada pucuk pimpinan CEO (Chief Executive Officer), atau bahkan tidak mempunyai posisi sama sekali? Anda tentunya tahu, bahwa bekerja di perusahaan asing bisa enak dan juga tidak. Apabila ada proses downsizing (pengurangan karyawan), posisi direktur bukanlah suatu jaminan. Ah, saya tiba-tiba merasakan suatu desakan yang hebat bahwa jalur sebagai karyawan bukanlah impian saya.

Tepat pada akhir tahun 2005, saya mengundurkan diri dari posisi Direksi. Pada waktu itu saya membawahi semua operasi dan divisi telemarketing yang menjadi ujung tombak dari semua penjualan di perusahaan. Semua unit yang saya bawahi saat itu sangat strategis dan penting. Beberapa teman malahan mengatakan saya gila, karena posisi enak kok ditinggal begitu saja?

Anda ingin tahu mengapa saya memutuskan untuk pindah pekerjaan dari karyawan menjadi entrepreneur? Simak 3 alasan utama berikut ini:

#### 1. Kebebasan Waktu (Freedom of Time)
"Emang enak jadi Direktur?", celoteh saya pada seorang teman saat itu. Semua orang berpikir jadi Direktur itu enak, karena mendapat gaji tinggi dan fasilitas yang hebat. Sudah pasti mendapat sedan keluaran mutakhir dan sopir. Ketika masuk kantor, semua karyawan menghormat kepada kita. Lebih-lebih apabila kita berhubungan dengan supplier, tiap kali bertemu kita diberi penghormatan ala karpet merah. Tapi dari semua ini, ada satu hal yang harus kita korbankan yaitu "Kebebasan Waktu".

Saya merasa waktu untuk pribadi sangat kurang disebabkan jadwal kantor yang sangat ketat sekali. Hampir setiap hari selalu padat dengan rapat divisi dan klien. Belum lagi saya memiliki laporan matriks ke regional di Singapura dan Hongkong. Ada beberapa bos besar yang harus saya beri update mengenai kegiatan operasional. Maka itu waktu sehari 24 jam terasa sangat minim.

Dengan target penjualan yang tinggi pada divisi Telemarketing, saya terbiasa berkejar-kejaran dengan tim penjualan untuk mencari cara mengejar target apabila target tidak tercapai. Aktivitas sebagai direktur membuat saya sering pulang malam hari tiap harinya. Lain halnya jika kita bekerja sebagai Entrepreneur. Kita adalah "master of time", dimana kita dapat bekerja semau kita (pada jam yang kita pilih). Untuk masuk kerja atau tidak, kita yang mengatur.

#### 2. Masa Depan Setelah Pensiun (Quo Vadis – Setelah Pensiun)
Saya kadang menerawang apa yang akan terjadi pada saya saat mencapai usia pensiun 55 tahun. Apabila perusahaan masih membutuhkan saya, sudah tentu kontrak kerja saya akan diperpanjang sebagai karyawan yang biasanya mencapai 1-2 tahun.

Umur 55 tahun bagi saya adalah umur yang sangat muda sekali untuk pensiun, karena saya sangat aktif sekali dalam menjalani hidup ini. Saya suka berolahraga dan menyukai tantangan, sehingga apabila harus pensiun pada umur 55 tahun kelihatannya bisa stress berat. Dengan pemikiran ini, umur 55 tahun adalah momok yang sangat besar bagi saya. Karena tanpa persiapan diri yang baik, saya bisa jadi pengangguran pada umur tersebut.

Maka itu, Quo Vadis – Pensiun adalah salah satu alasan saya untuk menjadi entrepreneur di usia yang lebih muda.

#### 3. Penghasilan yang Terbatas (Limited Income)
Ini adalah alasan pribadi. Saya rasa tidak semua orang akan setuju dengan saya mengenai hal ini. Menurut saya, sebagai karyawan mempunyai penghasilan yang terbatas, karena saya sudah tahu persentase kenaikan gaji dan bonus yang akan saya terima. Anda tahu kan, apabila gaji sudah tinggi, persentase kenaikan akan rendah, dan kita hanya mengharap lebih pada bonus yang mungkin saja belum tentu keluar karena keadaan ekonomi atau prestasi dari perusahaan yang tidak dapat kita kontrol.

Serajin-rajinnya saya bekerja, tiap bulan saya sudah tahu berapa jumlah yang akan saya kantongi, dan hal ini bagi saya kurang menantang. Robert Kiyosaki, pengarang buku "Rich Dad Poor Dad" memberikan ilustrasi bahwa pada kuadran sebagai "employee", kita seperti tikus berlari di tempat dan tidak dapat berkembang lagi.

Memang sebagai entrepreneur mempunyai aktivitas kuadran yang sangat berbeda dengan karyawan. Kita harus kreatif, menempuh risiko dan kadang apa yang kita buat belum tentu menjadi hasil. Tetapi itulah pilihan saya pada akhir tahun 2005, dan saya tidak pernah menoleh lagi ke belakang ataupun menyesalinya.

Meski harus mengencangkan ikat pinggang pada awal-awal tahun menjadi entrepreneur dan tidak mempunyai fasilitas apapun (kesehatan, mobil, sopir, dsb), saya memberanikan diri untuk menempuhnya. Tetapi dengan itu saya mempunyai impian saya, yaitu Kebebasan Waktu, tetap aktif di usia pensiun, dan mempunyai potensi penghasilan tidak terbatas (unlimited income) dengan kerja yang lebih sedikit.

Ingin mencoba menjadi entrepreneur? Apabila ya, Anda tentunya setuju dengan 3 alasan saya di atas.


Semoga artikel ini menginspirasi dan memberikan pandangan baru bagi Anda yang ingin mencoba jalur entrepreneur. 😊

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Publik yang bermodel kelompok

Oleh Regas Febria Yuspita Pendahuluan Model adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu, model kebijakan biasanya dinyatakan dalam bentuk konsep teori, diagram, grafik atau persamaan matematika. Model kebijakan publik harus memiliki karakteristik, sederhana dan jelas, ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan, menolong untuk pengkomunikasian, usaha langsung untuk memahami kebijakan publik secara lebih baik ( manageable ) dan memberikan penjelasan & memprediksi konsekwensi. Model pembuatan kebijakan publik meliputi model elit, model kelompok, model kelembagaan, model proses, model rasionalism, model inkrementalism dan model sistem. Pada tulisan ini penulis akan membahas mengenai kebijakan publik yang menggunakan model kelompok.Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan. Dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk...

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN)

TUGAS TERSTRUKTUR ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN) Disusun Oleh : KELOMPOK 1 Susanto P2FB12017 Regas Febria Yuspita P2FB12004 Rahmat Imanda P2FB12021 Ary Yuliastri P2FB12008 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PURWOKERTO 2012 Etika Administrasi Publik (Definisi, Urgensi, Perkembangan, dan Landasan) Oleh : Kelompok 1 Pendahuluan Etika administrasi publik pertama kali muncul pada masa klasik. Hal ini disebabkan karena teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, dan Urwick) kurang memberi tempat pada pilihan moral (etika). Pada teori klasik kebutuhan moral administrator hanyalah merupakan keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari secara efisien. Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik pun tidak hanya harus efisien, tapi juga harus d...

Efisiensi dan Efektivitas dalam Birokrasi

  Oleh Regas Febria Yuspita, S.Sos P2FB12004 [1] Pendahuluan Penerapan Good Governance saat ini baik di tingkat pusat maupun daerah harus berpegang teguh dengan prinsip efisiensi, dan efektivitas.   Penerapan prinsip efektivitas dan efisiensi ini dilakukan karena permasalahan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan seperti petugas pelayanan kurang responsif, kurang informatif kepada masyarakat, kurang accessible , kurang koordinasi, terlalu birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat dan inefisien. Efektivitas dan efisiensi secara bersama-sama sangat perlu diterapkan dalam penerapan Good Governance , karena suatu yang efektif belum tentu efisien, demikian juga sebaliknya suatu yang efisien belum tentu efektif. Suatu pekerjaan yang efektif belum tentu efisien karena hasil dicapai itu telah menghabiskan banyak pikiran, tenaga, waktu, maupun benda lainnya. Hal ini disebabkan karena efektif adalah mel...