Langsung ke konten utama

BERAKHLAK DENGAN NAMA-NAMA ALLAH



Bagi para sufi, berakhlak dengan nama-nama Allah swt (takhalluq) merupakan sebuah peningkatan bagi perjalanan jiwa. Fase ini juga bisa dikatakan fase aplikasi setelah proses-proses penyucian jiwa dengan membuang tabiat-tabiat buruk dan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan. Takhalluq tak lain adalah meneladani Allah swt dengan segala sifat-sifat mulia-Nya.

Sifat dan nama Allah swt kita kenal dengan sebutan Asma'ul Husna. Dalam sifat itu ada beberapa sifat yang juga bisa disematkan kepada sifat-sifat manusia, seperti: mendengar (sama’), melihat (bashar), berbicara (kalam), mengetahui (Urn), berkehendak (iradati), berkuasa (qudrati), dan hidup (hayy). Asma'ulhusna dapat juga disematkan kepada sifat manusia secara maknawi, seperti: mulia (karim), dermawan (juud), murah hati (hilm), kasih sayang (ra'fah), sabar (shabr), syukur, adil, dan penyayang (rahmah).

Menurut para sufi, takhaluq' dengan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam asma'ul husna adalah dengan menyerap makna-makna asma'ul husna ke dalam dirinya. Bagi siapa saja yang telah menyerap sifat-sifat Allah ke dalam dirinya maka merupakan peningkatan diri (irtiqa').

Namun ada sifat yang boleh diserap seorang hamba dan ada yang tidak. Menyerap sifat Allah yang ada dalam diri kita juga memiliki batasan-batasan sebab Allah berkedudukan sebagai Tuhan dan manusia sebagai makhluk. Allah mendengar dengan pendengaran yang tak terbatas sementara manusia terbatas. Allah melihat tanpa penghalang sementara pandangan manusia dipenuhi berbagai tabir. Demikianlah seterusnya.

Jadi manusia tetap sebagai hamba Allah yang harus mengerjakan apa yang diperintahkan (taklif), sedangkan Allah adalah Tuhan yang tidak dimintakan pertanggung-jawaban atas apa yang telah dilakukan-Nya. Allah memiliki sifat murah hati, begitu pula manusia, akan tetapi Allah akan bersifat murah hati kepada siapa yang dikehendaki dengan tidak ada kewajiban atau tuntunan bagi-Nya.

Sedangkan manusia harus menggunakan sifat murah hatinya kepada hal-hal yang dibenarkan dan ia tidak dibenarkan untuk bersifat murah hati kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah, seperti bersifat murah hati kepada kemaksiatan, karena kondisi seperti ini tidaklah dibenarkan.
‘ “Ingatlah selalu akan sifat-sifat Rububiyah Allah swt dan bergantunglah kepada-Nya, dan ingatlah sifat-sifat kehambaanmu dan lakukanlah sungguh-sungguh penghambaan itu.” (Ibnu Athaillah)


Tak Ada yang Setara dengan Dia

Menurut Said Hawwa, ada hal-hal penting yang mesti diperhatikan dalam pembahasan takhalluq bi asma'u lillah, berakhlak dengan nama-nama Allah.

Di dalam surah al-Ikhlas terdapat lima sifat Allah yang hanya dimiliki oleh Allah saja (salbiyyati), yaitu: Maha Esa (wahdaniyyati), Pertama (awwaliyyati) dan Terakhir (qidarri), Azali dan Kekal (baqa ), Berdiri sendiri (qayyuni) dan tidak memerlukan siapa-siapa (istighna), dan Tidak ada yang menyerupai-Nya.

Kelima sifat Allah di atas tidak mungkin dimiliki oleh makhluk-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat disifati "Esa" (wahdaniyyati) karena setiap suatu itu berbilang atau mungkin dapat berbilang, tersusun atau mungkin dapat disusun. Tidak ada sesuatu pun yang sifat-Nya pertama dan terakhir karena pasti memiliki permulaan dan akhir. Tidak ada sesuatu pun yang sifat-Nya kekal abadi karena pasti mendapatkan kepunahan. Tidak ada sesuatu pun yang berdiri sendiri karena pasti memerlukan orang lain; dan tidak ada yang keberadaannya tidak memiliki tandingan karena pasti memiliki tandingan. Hanya Allahlah yang dapat disifatkan dengan sifat-sifat tersebut.

Sebagian makna asma'ul husna menunjukkan sifat-sifat ketuhanan yang tidak boleh dikenakan kepada hamba-Nya, seperti keagungan ('azhamah), kesombongan (kibriya), dan ketuhanan (rabb). Dalam hadits qudsi disebutkan,

"Kesombongan adalah selendang-Ku, Keagungan ('azhamah) adalah sarung-Ku. Barangsiapa yang melawanku atas keduanya maka akan Aku binasakan.”

Manusia yang paling tinggi menerapkan sifat-sifat Allah (takhalluq) dan menyerap sifat-sifat mulia (tahaqquq) dalam dirinya adalah Rasulullah saw. Oleh karena itu, seseorang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyerap sifat-sifat Rasulullah karena dalam diri beliau merupakan perpaduan antara takhalluq (penyerapan sifat-sifat Allah) dan sifat manusia karena kedudukannya sebagai hamba Allah.

Allah berfirman, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. at-Taubah [9]: 128).

Dari perkataan ini dapat kita simpulkan bahwa seorang yang mengikuti Rasulullah pasti ia akan sampai kepada kesempurnaan, sedangkan orang yang mencari jalan dengan tidak mengikuti Rasulullah pasti ia akan tergelincir pada kesesatan.

Tidak dikatakan ia telah benar-benar mengikuti Rasulullah dalam hal tahaqquq dan takhalluq kecuali dengan banyak berzikir, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an,

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah (zikir)." (QS. al-Ahzab [33]: 21)

Untuk dapat menyerap akhlak Rasulullah dalam diri kita, memerlukan pengetahuan tentang al-Qur’an, hadits, dan sejarah Nabi (sirah). Karena, akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, dan seluruh akhlak mulia yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan akhlak dari Rasulullah, dan dari seluruh sejarah hidup Rasulullah tecermin kesempurnaan akhlaknya.

Dan, hal yang paling penting untuk diikuti dari sifat-sifat beliau adalah: jujur (shidq), amanah, menyampaikan (tabliqh), dan cerdas (fathanah). Setiap salik akan meneladani ini dengan tak pernah berdusta, senantiasa memegang amanah kebaikan dan menyampaikan segala hal yang menjadi manfaat bagi orang lain, termasuk ilmu, dan ia juga adalah sosok yang cerdas yang senantiasa haus akan hikmah bagi jiwanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN)

TUGAS TERSTRUKTUR ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN) Disusun Oleh : KELOMPOK 1 Susanto P2FB12017 Regas Febria Yuspita P2FB12004 Rahmat Imanda P2FB12021 Ary Yuliastri P2FB12008 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PURWOKERTO 2012 Etika Administrasi Publik (Definisi, Urgensi, Perkembangan, dan Landasan) Oleh : Kelompok 1 Pendahuluan Etika administrasi publik pertama kali muncul pada masa klasik. Hal ini disebabkan karena teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, dan Urwick) kurang memberi tempat pada pilihan moral (etika). Pada teori klasik kebutuhan moral administrator hanyalah merupakan keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari secara efisien. Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik pun tidak hanya harus efisien, tapi juga harus d...

Efisiensi dan Efektivitas dalam Birokrasi

  Oleh Regas Febria Yuspita, S.Sos P2FB12004 [1] Pendahuluan Penerapan Good Governance saat ini baik di tingkat pusat maupun daerah harus berpegang teguh dengan prinsip efisiensi, dan efektivitas.   Penerapan prinsip efektivitas dan efisiensi ini dilakukan karena permasalahan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan seperti petugas pelayanan kurang responsif, kurang informatif kepada masyarakat, kurang accessible , kurang koordinasi, terlalu birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat dan inefisien. Efektivitas dan efisiensi secara bersama-sama sangat perlu diterapkan dalam penerapan Good Governance , karena suatu yang efektif belum tentu efisien, demikian juga sebaliknya suatu yang efisien belum tentu efektif. Suatu pekerjaan yang efektif belum tentu efisien karena hasil dicapai itu telah menghabiskan banyak pikiran, tenaga, waktu, maupun benda lainnya. Hal ini disebabkan karena efektif adalah mel...

Kebijakan Publik yang Bermodel Inkremental

Oleh : Regas Febria Yuspita Model inkremental muncul merupakan kritik terhadap model rasional. Model incremental ini digunakan untuk menambah, mengurangi dan menyempurnakan program-program yang telah ada sebelumnya. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya. karena beberapa alasan, yaitu: 1.       Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan tujuan kebijakan. 2.       Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak diinginkan sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya 3.       Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan demi kepentingan tertentu 4.       Menghindari konflik jika harus melakukan proses n...