Langsung ke konten utama

larangan mengumpat dan mencela

Wahai kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah, bertaubatlah kepada-Nya. Dan ketahuilah, sesungguhnya mengumpat adalah perbuatan yang diharamkan bagi kaum Muslimin, baik oleh Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah.

Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian saudara kamu yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudara kamu yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.“ (QS. Al- Hujurat: 12).

Rasulullah SAW juga bersabda, “Setiap Muslim terhadap Muslim lainya diharamkan darahnya, harta benda dan kehormatannya.”

Dalam salahsatu khutbahnya, Rasulullah SAW pernah bersabda agar didengar oleh kaum wanita yang berada di rumah masing-masing, “Wahai orang yang beriman dengan mulutnya, tetapi tidak beriman dengan hatinya.”

“Sesungguhnya, barangsiapa membuka aurat saudaranya, maka Allah akan membuka auratnya. Dan barangsiapa telah dibuka auratnya oleh Allah, maka Allah akan membukakan aibnya di dalam rumah sendiri.”

Oleh sebab itu, wahai kaum Muslimin, jauhkanlah ghibah, jangan mengumpat saudara-saudaramu, niscaya Allah akan memperbaiki amal perbuatanmu dan mengampuni dosa- dosamu. Barangsiapa di antaramu menceritakan perihal saudaramu tentang hal-hal yang tidak disukainya, maka ia telah mengumpatnya dan memakan dagingnya.

Rasulullah SAW telah bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu?”

Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Nabi SAW bersabda, “Kamu menceritakan saudaramu tentang hal-hal yang tidak disukainya.

Sahabat bertanya, “Bagaimana pendapat engkau ya Rasul, jika dalam diri saudaraku terdapat apa yang saya katakan?”

Beliau SAW menjawab, “Jika dalam dirinya terdapat apa yang kamu katakan, maka kamu telah mengumpatnya, dan jika dalam dirinya tidak terdapat apa yang kamu katakan, maka kamu telah menjelek- jelekkannya.”

Sahabat Ibnu Abbas RA berkata, “Jika engkau ingin menceritakan aib saudara-saudaramu, maka ingatlah akan aibmu sendiri.”

Sahabat Abu Hurairah RA juga mengatakan, "Salah seorang di antaramu melihat kotoran besar di mata saudaranya, tetapi ia tidak melihat kotoran besar di mata sendiri.”



Sesungguhnya, seseorang itu tidak akan bisa mencapai hakekat iman, sehingga ia tidak mau lagi mencela aib orang lain yang ia juga terlibat melakukannya.

Dan hingga ia mau membetulkan dan membersihkan dirinya dari aib tersebut.

Orang yang telah melakukan ghibah, wajib bertakwa kepada Allah, bertaubat, dan menyesali perbuatannya, agar ia terbebas dari hak Allah.

Kemudian, ia harus meminta maaf kepada orang yang diumpatnya, sehingga ia terbebas dari perbuatan aniaya yang telah dilakukannya, dan ia harus menyesali perbuatannya di hadapannya.

Disebutkan juga dalam hadis shahih, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,  "Barangsiapa telah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik menyangkut masalah kehormatan maupun hartanya, maka ia harus meminta maaf kepadanya, sebelum datang suatu hari yang tiada berguna lagi padanya dinar dan dirham.”

“Bahkan diambil daripadanya kebaikan-kebaikannya. Jika ia tidak mempunyai amal baik, maka diambilnya kejelekan-kejelekannya (orang yang diumpatnya lalu ditambahkan pada kejelekan-kejelekan saudaranya (yang melakukan ghibah).”

Wahai hamba Allah, hati-hatilah terhadap perbuatan ghibah, namimah dan segala perbuatan yang diharamkan dan tercela. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.”

“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguh-nya Allah Mahapenerima taubat lagi Mahapenyayang.” (QS. Al- Hujurat: 12).

* Khutbah Masjidil Haram oleh Syekh Abdullah Ibnu Muhammad Al-Khulaifi, Khatib dan Imam Masjidil Haram
*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN)

TUGAS TERSTRUKTUR ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN) Disusun Oleh : KELOMPOK 1 Susanto P2FB12017 Regas Febria Yuspita P2FB12004 Rahmat Imanda P2FB12021 Ary Yuliastri P2FB12008 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PURWOKERTO 2012 Etika Administrasi Publik (Definisi, Urgensi, Perkembangan, dan Landasan) Oleh : Kelompok 1 Pendahuluan Etika administrasi publik pertama kali muncul pada masa klasik. Hal ini disebabkan karena teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, dan Urwick) kurang memberi tempat pada pilihan moral (etika). Pada teori klasik kebutuhan moral administrator hanyalah merupakan keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari secara efisien. Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik pun tidak hanya harus efisien, tapi juga harus d...

Efisiensi dan Efektivitas dalam Birokrasi

  Oleh Regas Febria Yuspita, S.Sos P2FB12004 [1] Pendahuluan Penerapan Good Governance saat ini baik di tingkat pusat maupun daerah harus berpegang teguh dengan prinsip efisiensi, dan efektivitas.   Penerapan prinsip efektivitas dan efisiensi ini dilakukan karena permasalahan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan seperti petugas pelayanan kurang responsif, kurang informatif kepada masyarakat, kurang accessible , kurang koordinasi, terlalu birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat dan inefisien. Efektivitas dan efisiensi secara bersama-sama sangat perlu diterapkan dalam penerapan Good Governance , karena suatu yang efektif belum tentu efisien, demikian juga sebaliknya suatu yang efisien belum tentu efektif. Suatu pekerjaan yang efektif belum tentu efisien karena hasil dicapai itu telah menghabiskan banyak pikiran, tenaga, waktu, maupun benda lainnya. Hal ini disebabkan karena efektif adalah mel...

Kebijakan Publik yang Bermodel Inkremental

Oleh : Regas Febria Yuspita Model inkremental muncul merupakan kritik terhadap model rasional. Model incremental ini digunakan untuk menambah, mengurangi dan menyempurnakan program-program yang telah ada sebelumnya. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya. karena beberapa alasan, yaitu: 1.       Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan tujuan kebijakan. 2.       Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak diinginkan sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya 3.       Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan demi kepentingan tertentu 4.       Menghindari konflik jika harus melakukan proses n...