Langsung ke konten utama

Kisah cinta mengagumkan nomor 2


Berita itu sampai kepada Ali.

Berita tentang gadis yang sungguh mempesonakannya, baik kesantunannya, ibadahnya, parasnya.

Gadis yang sungguh mengagumkan!

Khabar itu sangat mengejutkan. Puteri kesayangan sepupunya itu dilamar oleh sahabat yang paling akrab dengan Rasulullah. Lelaki yang berjuang dengan seluruh harta dan jiwanya. Lelaki yang menginfakkan seluruh hartanya pada perang badar. Lelaki yang pada hari pertamanya sebagai seorang muslim sahaja sudah berjaya menarik 6 orang untuk bersyahadah! Adakah iman dan akhlaqnya diragui? Tentu tidak!

Dari sisi ekonomi, Abu Bakar seorang saudagar, insyaAllah lebih layak membahagiakan Fatimah. Ali hanyalah pemuda miskin daripada keluarga miskin.

“Inilah persaudaraan dan cinta,” gumam Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku.”

*****


Namun takdir Allah terus mengatasi segalanya. Lamaran Abu Bakar ditolak dan Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Tetapi ujian itu itu rupanya belum berakhir. Datang pula seorang sahabat melamar Fatimah selepas Abu Bakar. Lelaki yang gagah dan perkasa, yang mendapat hidayah selepas didoakan oleh Rasulullah. Al-Farouq, Umar Ibn Al-Khattab.

Umar adalah lelaki yang berani. Pembela yang gagah. Beliau pasti menjaga Fatimah dengan baik. Umar lebih bersedia daripadanya. Jika dinilai dari semua segi dalam pandangan orang ramai, Ali hanyalah pemuda yang belum bersedia untuk menikah. Umar jauh lebih layak daripadanya. Maka Ali redha.

*****

Walaubagaimanapun, Allah masih punya rancangan lain. Umar juga ditolak. Ali bingung. Menantu seperti apakah yang diinginkan Rasulullah? Apakah yang kaya juga, seperti Uthman? Ali sungguh berbeza dengannya.

“Mengapa bukan engkau yang mencuba, kawan?” kalimat teman-teman ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tidak mencuba melamar Fatimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi SAW.

“Aku?” tanyanya, tidak yakin.

“Ya, engkau wahai saudaraku!”

“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”

“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

Ali pun menghadap Rasulullah SAW, menyampaikan hajatnya untuk menikahi Fatimah. Ya, menikahi. Meskipun beliau sedia maklum, secara ekonominya sangat tidak menjanjikan apa-apa pada dirinya. Di rumahnya, hanya ada satu set baju besi serta persediaan tepung kasar untuk makanannya.

Namun untuk meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersedia? Itu memalukan! Meminta Fatimah menantinya sehingga dia bersedia? Itu sangat keanak-anakan!

Namun Ali bersedia bertanggungjawab atas rasa cintanya. Beliau yakin, Allah Maha Kaya.

“Ahlan Wasahlan!” jawab Rasulullah beserta senyuman.

Ali bingung.

Apakah maksudnya? Ucapan selamat dating sukar ditafsirkan sebagai satu penerimaan atau penolakan.

*****

“Bagaimana jawapan Nabi, kawan? Bagaimana lamaranmu?”

“Entahlah…”

“Apa maksudmu?”

“Menurut kalian, apakah ‘Ahlan Wasahlan’ bermaksud sebuah jawapan?”

“Satu sahaja sudah mencukupi dan kau mendapat dua!” Ahlan sahaja sudah bererti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan ‘Ahlan Wasahlan’. Dua-duanya bererti ya!”

*****

Maka dalam usia 18 tahun, Ali menikahi Fatimah. Dengan menggadaikan baju besi. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan oleh kawan-kawannya, tapi Rasulullah berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar, dan Fatimah. Dengan keberanian untuk menikah. Waktu itu juga. Bukan janji-janji, bukan nanti-nanti.

*****
Ali adalah gentlemen sejati. Tidak hairanlah pemuda arab memiliki jeritan, “La Fatan Illa Alliyan!” Tiada pemuda selain Ali!

Adakah Ali pergi menemui Fatimah kemudian menyatakan, “Aku cinta padamu, Bolehkah kamu menungguku?” tidak! Beliau berjumpa walinya, menyatakan perasaannya, kemahuannnya, kesanggupannya.

Itulah gentlemen sejati. Lelaki yang walaupun mungkin menurut orang ramai masih belum siap untuk menikah, tidak pergi mencabul hak walinya dengan ber’couple‘, bahkan tidak pula memintanya menunggu. Kerana dia tahu, Fatimah milik Allah, bukan milik dirinya.

Ali tetap berusaha mematuhi syariat walau risikonya tinggi. Dia percaya. Malah lebih lagi. Dia yakin. Yakin bahawa Allah maha berkuasa atas segala sesuatu.

*****

Jadilah gentlemen sejati.
Mencintailah seperti gentlemen sejati.
Mencintailah seikhlas Ali!
Itulah gentlemen sejati .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Publik yang bermodel kelompok

Oleh Regas Febria Yuspita Pendahuluan Model adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu, model kebijakan biasanya dinyatakan dalam bentuk konsep teori, diagram, grafik atau persamaan matematika. Model kebijakan publik harus memiliki karakteristik, sederhana dan jelas, ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan, menolong untuk pengkomunikasian, usaha langsung untuk memahami kebijakan publik secara lebih baik ( manageable ) dan memberikan penjelasan & memprediksi konsekwensi. Model pembuatan kebijakan publik meliputi model elit, model kelompok, model kelembagaan, model proses, model rasionalism, model inkrementalism dan model sistem. Pada tulisan ini penulis akan membahas mengenai kebijakan publik yang menggunakan model kelompok.Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan. Dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk...

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN)

TUGAS TERSTRUKTUR ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN) Disusun Oleh : KELOMPOK 1 Susanto P2FB12017 Regas Febria Yuspita P2FB12004 Rahmat Imanda P2FB12021 Ary Yuliastri P2FB12008 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PURWOKERTO 2012 Etika Administrasi Publik (Definisi, Urgensi, Perkembangan, dan Landasan) Oleh : Kelompok 1 Pendahuluan Etika administrasi publik pertama kali muncul pada masa klasik. Hal ini disebabkan karena teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, dan Urwick) kurang memberi tempat pada pilihan moral (etika). Pada teori klasik kebutuhan moral administrator hanyalah merupakan keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari secara efisien. Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik pun tidak hanya harus efisien, tapi juga harus d...

Efisiensi dan Efektivitas dalam Birokrasi

  Oleh Regas Febria Yuspita, S.Sos P2FB12004 [1] Pendahuluan Penerapan Good Governance saat ini baik di tingkat pusat maupun daerah harus berpegang teguh dengan prinsip efisiensi, dan efektivitas.   Penerapan prinsip efektivitas dan efisiensi ini dilakukan karena permasalahan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan seperti petugas pelayanan kurang responsif, kurang informatif kepada masyarakat, kurang accessible , kurang koordinasi, terlalu birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat dan inefisien. Efektivitas dan efisiensi secara bersama-sama sangat perlu diterapkan dalam penerapan Good Governance , karena suatu yang efektif belum tentu efisien, demikian juga sebaliknya suatu yang efisien belum tentu efektif. Suatu pekerjaan yang efektif belum tentu efisien karena hasil dicapai itu telah menghabiskan banyak pikiran, tenaga, waktu, maupun benda lainnya. Hal ini disebabkan karena efektif adalah mel...