Tafsir Al-Kautsar: Sungai Kesturi, Pesta Terima Kasih, dan Perempuan Pembawa Sial (Bagian 1)
Fatih Zam Rabu, 22 Mei 2013, 10:00 WIB |
|
MIZANMAG.COM - Sebagai
umat yang hidup jauh dari Khatamul Anbiya, Rasulullah Saw., penyikapan
kita terhadap dua warisan beliau cukup membingungkan. Ketiadaan
pemimpin—dalam dimensi fisikal, mental, dan spiritual—ternyata tidak
membuat kita cukup menghargai peninggalan.
Dalam konteks Al-Quran, contohnya, ada
saja sebagian dari kaum Muslimin yang memproduksi sikap-sikap parsial.
Membacanya, tapi luput tadabbur dan memahami. Mengambil
sepotong hukum, meninggalkan mozaik-mozaik lainnya karena keberatan.
Mendakwahkan, akan tetapi tidak sesuai ucapan dengan perbuatannya. Salah
satunya... surat yang menjadi nyawa tulisan ini. Tiga ayat yang mudah
diingat, akan tetapi sarat dengan nasihat. Yang relevan dengan kekinian
zaman. Al-Kautsar yang sering diulang-ulang, sehingga sempat
mengesankan: surat ini amatlah “ringan”. Namun, sejarahnya mengatakan
kebalikan. Begitupun tafsir-tafsir yang ditorehkan para ulama pilihan.
Membantu kita merevolusi pandangan. Ini surat yang kaya dengan
pelajaran. Konsekuensi dan petunjuk. Kabar gembira dan ancaman.
Ayat Satu: Lebih Wangi dari Kasturi, Lebih Putih dari Salju
Pada ayat pembuka, Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.” Dalam
kitabnya, Ibnu Katsir membuka penafsiran ayat ini dengan mencantumkan
sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya.
Berkata kepada kami Muhammad bin Fudhail
dari Al-Mukhtar bin Fulful dari Anas bin Malik, berkata, Rasulullah
Saw. sedang tertidur ringan (mengantuk), kemudian beliau mengangkat
kepalanya dan tersenyum. Para sahabat bertanya kepada beliau, “Mengapa
engkau tertawa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Baru sebentar ini
telah diturunkan kepadaku suatu surat,” lalu beliau membacakan,
"Bismillaahirrahmaanirrahiim. Innaa 'athoinaa kal kautsar." Beliau
membacakan hingga akhir surat ini, beliau bersabda, “Tahukah kalian
apakah surat Al-Kautsar itu?” Mereka menjawab, “Allah dan RasulNya lebih
mengetahui.” Beliau bersabda, “Yaitu sebuah sungai yang telah diberikan
kepadaku di surga, pada sungai itu banyak kebaikan, dari sungai itu
umatku akan mengambil air pada hari kiamat.”
Al-Kautsar, menurut Ibnu Katsir, berasal
dari kata Al Katsrah (banyak), yang berarti kebaikan yang banyak—dan di
antara kebaikan yang banyak itu adalah sungai sebagaimana yang
dikatakan. Keterangan mengenai sungai istimewa ini kita bisa temukan
pula dalam hadits-hadits mi’raj Rasulullah Saw. Salah satunya
dikeluarkan Bukhari dalam Shahih-nya. Dari hadits Syaiban bin
Abdurrahman dari Qatadah dari Anas bin Malik, dia berkata, “Ketika Nabi
Muhammad Saw. dijalankan ke langit, beliau bersabda, ‘Aku datang pada
sebuah sungai yang pada kedua tepian sungai itu terdapat kubah yang
terbuat dari mutiara, maka aku bertanya, apakah ini, wahai Jibril?’ Dia
menjawab, ‘Ini adalah Al-Kautsar.’”
Dalam hadits Imam Ahmad lainnya,
disebutkan bahwa Al-Kautsar adalah sebuah sungai yang mengalir dan tidak
bercabang. Aromanya amat harum, mengalahkan wangi minyak kasturi. Dia
memiliki bejana bagaikan bilangan bintang, sedang kedua tepinya terdapat
emas dan perak. Mengalir di atasnya mutiara dan permata. Sebuah sungai,
sebuah hadiah yang telah disimpan Allah untuk lelaki terpilih, penutup
risalah-Nya.
Akan tetapi, Al-Kautsar juga dapat
ditafsirkan sebagai “kebaikan yang banyak”. Menurut Syaikh Muhammad bin
Shalih, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Syaikh ‘Utsaimin,
al-Kautsar dimaknai, “Sebagian dari kebaikan yang banyak, yang
dianugerahkan kepada Nabi Saw. di dunia, termaktub dalam hadits yang
terdapat di dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)
yang diriwayatkan oleh Jabir ra., bahwasanya Nabi Saw. bersabda, ‘Aku
diberi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada seorang pun di
antara sekalian nabi sebelumku. Aku ditolong dengan rasa takut di hati
musuh dalam jarak satu bulan perjalanan. Dijadikan bumi ini bagiku
sebagai masjid dan bersih sehingga siapa saja dari kalangan umatku yang
mendapati waktu shalat, maka hendaklah dia segera menunaikan shalat. Aku
diberi hak syafaat. Harta rampasan perang dihalalkan untukku. Dan semua
nabi diutus untuk umatnya masing-masing secara khusus, sedangkan aku
diutus kepada seluruh manusia secara umum.’
“Inilah,” tulis Syaikh ‘Utsaimin dalam
kitabnya, Tafsir Juz ‘Amma lisy Syaikh al-‘Utsaimin, “sebagian wujud
kebaikan yang banyak itu, karena pengutusan Nabi Saw. kepada seluruh
manusia secara umum itu menjadikan beliau sebagai nabi yang paling
banyak pengikutnya. Sudah kita ketahui bersama bahwa orang yang memberi
petunjuk menuju kebaikan itu sebagaimana orang yang mengerjakan
kebaikan. Orang yang memberi petunjuk umat terbesar yang jumlahnya
mengalahkan seluruh umat sebelumnya ini adalah Muhammad Saw. Berdasarkan
hal ini, maka Rasulullah Saw. mendapatkan pahala dari setiap orang dari
umat beliau, sehingga tiada yang dapat menghitung banyaknya pahala
beliau kecuali hanya Allah ‘Azza wa Jalla.”
Syaikh ‘Utsaimin juga menyebutkan bahwa
kebaikan lain yang dijanjikan Allah untuk beliau adalah tempat yang
terpuji—yang darinya dihasilkan syafaat yang agung. Ketika manusia dalam
kegalauan yang sangat di hari perhitungan, mereka berlari ke sana dan
ke sini, mencari pertolongan para nabi. Mereka bersegera menuju Nabi
Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi ‘Isa. Namun tidak satu
pun di antara mereka yang mampu menolong. Permintaan tolong umat
manusia ini baru menemui titik terang ketika mereka menemui Nabi
Muhammad Saw. Setelah meminta izin kepada Allah Swt. dan mendapatkan
izinNya, barulah Rasulullah menolong umatnya dengan syafaat.
Keistimewaan ini belum termasuk kenikmatan di surga yang telah
dipersiapkan bagi beliau. Sehingga, Al-Kautsar, selain dapat ditafsirkan
sebagai nama sungai yang menakjubkan, juga bisa diartikan dengan
rezeki-rezeki di surga Allah ‘Azza wa Jalla.
Lalu, apakah Al-Kautsar ini hanya diperuntukkan bagi Rasulullah Saw.?
Dalam kerangka berpikir Al-Quran
diturunkan untuk seluruh manusia, tentu kita tidak perlu terjebak dalam
pola pikir serupa. Mulai surat pertama, kedua, ketiga, hingga terakhir,
semuanya adalah petunjuk dari Allah, yang ditujukan kepada kita. Allah
berkata, “(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia...”
(Q.s. Ali Imran [3]: 138). Allah juga berfirman, “Kitab (Al Quran) ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu)
mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”
(Q.s. Al-Baqarah [2]: 2 – 5).
Oleh karenanya, ketika pembicaraan
kembali kita kerucutkan pada konteks surat Al-Kautsar, dan untuk siapa
surat ini diberikan, semuanya menjadi jelas. Bahwa Al-Kautsar bukanlah
cuma kabar baik bagi Nabi Muhammad. Bahwa Al-Kautsar adalah sebagai
petunjuk, juga janji dan penetapan Allah, untuk kita semua, umat Islam
sedunia. Dari Muslim yang hidup di zaman nabi, pertengahannya, hingga
bayi-bayi Muslim yang lahir hari ini, esok, dan detik-detik penghabisan
alam semesta. Karena itulah, barangsiapa yang telah bersyahadat dan
mengikuti jalan Rasulullah Saw., maka ia pun telah mengambil “tiketnya”
untuk mendapatkan Al-Kautsar. Sebagaimana yang beliau telah kabarkan:
bahwa umatnyalah yang akan mengambil air di sungai Al-Kautsar. Di saat
lautan manusia kehausan dan dalam kepanikan, ketakutan yang mencekam,
umat Nabi Muhammad diberikan hak untuk menikmati air yang, menurut Ibnu
Abbas melalui Ibnu Jarir dalam Jami’ul Bayan-nya, berwarna lebih putih
dari salju. Rasanya lebih manis dari madu.
Tidak salah bila kemudian kita berkata:
sungguh beruntung sekali jadi umatnya Rasulullah. Tidak terasa
berlebihan, sesuai keadaan. Sebab, selain Al-Kautsar, nikmat-nikmat lain
yang Allah limpahkan pada kita memang jauh lebih besar. Lebih berlipat
ganda. Lebih, lebih, lebih banyak dibandingkan nikmat yang Dia berikan
pada umat-umat sebelumnya.
Dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah,
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Atha’ bin Yasar, Aku telah menemui
Abdullah bin Amru bin Al-Ash ra. lalu bertanya kepadanya, “Beritahulah
aku tentang sifat-sifat Rasulullah Saw. yang ditemui di dalam Taurat!”
Maka jawabnya, “Demi Allah, memang benar, bahwa Nabi kita itu tersebut
sifatnya di dalam Taurat, sebagaimana yang terdapat sifatnya di dalam
Al-Quran, yaitu berbunyi, ‘Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu
sebagai saksi dan pembawa berita gembira dan ancaman, dan sebagai
penghulu dari ummat yang ummi. Engkau adalah hambaku dan utusan-Ku. Aku
namakan engkau Mutawakkil (orang yang menyerahkan diri kepada Tuhannya),
engkau bukan seorang yang keras atau kasar, dan bukan orang yang suka
berteriak di pasar. Engkau bukanlah orang yang membalas keburukan dengan
yang keburukan, akan tetapi engkau suka memaafkan dan mengampunkan. Dan
dia itu tidak akan diambil nyawanya, sehingga mereka (pengikutnya)
meluruskan agama yang bengkok ini dengan mengucapkan ‘Laa llaaha
illallaah!’ yakni tiada Tuhan melainkan Allah! Dengan itu dia dapat
membuka mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang tertutup.’”
Wahab bin Munabbih juga berkata bahwa
Allah Ta’ala telah mewahyukan kepada Nabi Daud ‘alaihissalam di dalam
kitab Zabur, yang berbunyi, “Hai Daud! Ingatlah, bahwa akan datang
selepasmu seorang Nabi namanya Ahmad atau Muhammad, dia seorang yang
benar, penghulu sekalian Nabi. Aku tidak akan marah sama sekali
kepadanya dan dia juga tidak pernah menyebabkan Aku marah. Aku sudah
mengampuninya sebelum dia berbuat salah atas segala dosanya yang
terdahulu dan yang akan datang. Umatnya senantiasa dirahmati, Aku telah
memberikannya Nawafil, yakni amalan-amalan sunnat sebagaimana yang Aku
berikan kepada para Nabi, dan Aku telah mewajibkan ke atas mereka (umat
Nabi Muhammad) bermacam-macam fardhu, yang telah Aku wajibkan ke atas
semua para Nabi dan para Rasul, sehingga mereka nanti datang kepadaku di
hari kiamat, di mana cahaya mereka seperti cahaya-cahaya para Nabi. Hai
Daud! Bahwa sesungguhnya Aku telah utamakan Muhammad dan umatnya di
atas sekalian umat seluruhnya.”
Lihatlah bagaimana Allah memuliakan
kita. Lihatlah juga berbagai keistimewaan lainnya. Ada Ramadhan dan
ampunan besarnya. Lailatul Qadr, yang bernilai lebih dari seribu bulan
lamanya. Lihatlah keutamaan shalat, haji, dan zakat. Dijadikan umat ini
mulia dengan tugas-tugas dakwah, yang sejatinya milik para nabi dan
rasul terdahulu. Diberikan kita berbagai kemudahan dalam syariah. Jumlah
kita lebih besar. Dijanjikan memasuki jannah-Nya terlebih dahulu
sebelum umat lain memasukinya. Dan masih tersisa banyak lainnya karunia
yang belum disebutkan, yang Allah tetapkan karena kasih dan sayang. [Tafsir Ibnu Katsir]
Komentar
Posting Komentar