Langsung ke konten utama

Walimah Lebih dari Dua Kali


Pertanyaan:
Di beberapa daerah terdapat kebiasaan mengadakan walimah lebih dari sekali. Diantara yang sering dijumpai adalah walimah di rumah istri kemudian disusul walimah di tempat suami. Apa hukum mengadakan walimah semacam ini?
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Inti walimah adalah makan-makan, karena ada unsur kegembiraan. Berdasarkan kriteria ini, walimah di sekitar kita, yang terjadi umumnya diadakan 3 kali:
  • Walimah yang diadakan pada saat akad nikah, karena setelah akad biasanya disambung makan-makan.
  • Walimah di gedung dari pihak mempelai wanita.
  • Walimah di gedung dari pihak mempelai pria.
Tentang hukumnya, mari kita simak pembahasan berikut.
Terdapat sebuah hadis dari Abdullah bin Utsman Ats Tsaqafi, dari seseorang yang berasal dari Bani Tsaqif (yang diduga namanya adalah Zuhair bin Utsman), bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالْيَوْمَ الثَّالِثَ سُمْعَةٌ وَرِيَاءٌ
“Walimah pada hari pertama adalah amalan yang haq (disyariatkan), pada hari kedua adalah satu hal yang baik (dianjurkan), dan pada hari ketiga termasuk riya’ dan sum’ah (diperdengarkan agar banyak orang yang tahu).” (HR. Abu Daud 3745).
Zahir hadis ini menunjukkan larangan mengadakan walimah lebih dari dua hari. Hanya saja hadis ini diperselisihkan oleh para ulama pakar hadis. Sebagian menilai lemah, meskipun ada ulama yang menerima hadis ini. Dan karena itu, mereka berbeda pendapat tentang hukum mengadakan walimah lebih dari dua kali.
Pertama, pendapat yang membolehkan mengadakan walimah lebih dari 2 kali.

Mereka yang berpendapat, boleh mengadakan walimah lebih dari 2 kali, menilai lemah hadis Zuhair di atas. Karena sanadnya dhaif dan Zuhair bin Utsman bukan sahabat.
Imam Bukhari menyebutkan hadis ini dalam kitabnya at-Tarikh al-Kabir (3/425) ketika membahas biografi Zuhair bin Utsman. Beliau berkomentar tentang Zuhair: “Sanadnya tidak shahih. Dia (Zuhair) bukanlah sahabat.” Oleh karena itu, Bukhari berpendapat bolehnya mengadakan walimah sampai tujuh hari. Pendapat beliau ini sebagaimana ditunjukkan dalam kitab Shahihnya pada judul:
بَابُ حَقِّ إِجَابَةِ الوَلِيمَةِ وَالدَّعْوَةِ، وَمَنْ أَوْلَمَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ وَنَحْوَهُ، وَلَمْ يُوَقِّتِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا وَلاَ يَوْمَيْنِ
“Bab wajibnya menghadiri walimah dan undangan, dan orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi waktu walimah sehari atau dua hari.” (Shahih Bukhari, 7/24).
Hadis ini juga diriwayatkan Ibn Majah (1915) dari jalur Abu Malik an-Nakha’i, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah. Dalam az-Zawaid dinyatakan bahwa Abu Malik an-Nakha’i adalah orang yang disepakati sebagai perawi yang lemah. (Tuhfatul Ahwadzi 3/164 & Ta’liq Fuad Abdul Baqi untuk Sunan Ibn Majah 1/617).
Hadis ini juga dinilai dhaif oleh Al-Albani dalam Dhaif Sunan Abi Daud (no. 799) dan Syu’aib Al-Arnauth dalam ta’liq untuk Musnad Ahmad (33/435).
Diantara dalil yang menguatkan pendapat pertama, yang membolehkan walimah beberapa hari adalah kisah pernikahan Sirin (Bapaknya Muhammad bin Sirin) yang dimeriahkan dengan walimah selama tujuh hari. Dari Hafshah bintu Sirin, beliau mengatakan:
لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم سبعة أيام، فلما كان يوم الأنصار دعاهم، ودعا أبي بن كعب وزيد بن ثابت ومعاذ، قالت: فكان أبي صائما فلما طعموا دعا أبي بن كعب وأمن القوم
“Ketika Bapakku, yang bernama Sirin, menikah, beliau mengundang para sahabat selama tujuh hari. Ketika tiba giliran hari orang anshar, beliau mengundang mereka, mengundang Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Muadz. Ketika itu Ubay sedang puasa. Setelah menyuguhkan makanan, Ubay mendo’akan kebaikan dan diamini orang sekitarnya.” (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf 17163).
Pendapat yang menyatakan bolehnya walimah lebih dari dua hari juga dipilih oleh Ibn Qudamah dalam al-Mughni (15/491).
Kedua, pendapat yang melarang walimah lebih dari dua hari
Sebagian ulama menilai hadis Zuhair dan yang semakna dengan itu sebagai hadis yang diterima. Diantaranya al-Hafidz Ibn Hajar. Beliau lebih cenderung untuk menerima hadis Zuhair di atas. Beliau menyebutkan beberapa hadis penguat untuk hadis ini dalam Fathul Bari. Kemudian beliau memberi komentar (secara ringkas):
“Hadis-hadis ini, meskipun semuanya tidak lepas dari komentar, namun gabungan semuanya menunjukkan bahwa hadis ini memiliki landasan. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mengamalkan hadis ini. Sedangkan Pendapat yang dipilih Bukhari, merupakan pendapat Malikiyah.
Qodli Iyadh – ulama syafiiyah – mengatakan: Dianjurkan bagi orang yang memiliki kemampuan, untuk mengadakan walimah selama tujuh hari. Ada juga yang mengatakan: (walimah selama tujuh hari) itu dilakukan dalam rangka adalah mengundang orang yang belum diundang di hari sebelumnya dan bukan mengundang ulang orang yang sudah datang di hari pertama, kedua, dst. Jika makruhnya mengadakan walimah di hari yang ketiga itu karena riya’, sum’ah, dan sombong maka demikian pula jika alasan itu ada pada hari yang keempat dan hari-hari setelahnya. Oleh karena itu, melakukan walimah lebih dari dua hari yang terjadi di masa sahabat, mungkin bisa dipahami ketika aman dari timbulnya perasaan riya’, sum’ah dan sombong.” (simak Fathul Bari 14/456).
Pendapat Al Hafidz Ibn hajar ini juga disetujui oleh As-Syaukani dalam Nailul Authar (10/130).
Kesimpulan:
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, beliau menyimpulkan tentang hukum mengadakan walimah lebih dari 2 hari, bahwa mengadakan walimah lebih dari dua hari hukumnya dibolehkan, jika memenuhi beberapa ketentuan berikut:
  1. Aman dari perasaan Sum’ah dan Riya’.
  2. Tidak disertai pemborosan atau sikap berlebih-lebihan.
  3. Dianjurkan agar tamu undangan untuk masing-masing hari berbeda. Artinya tamu untuk hari kedua bukan tamu yang hadir di hari pertama, dst. Wallahu a’lam.
(Fatawa Syabakah Islamiyah no. 75014)
Allahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Publik yang bermodel kelompok

Oleh Regas Febria Yuspita Pendahuluan Model adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu, model kebijakan biasanya dinyatakan dalam bentuk konsep teori, diagram, grafik atau persamaan matematika. Model kebijakan publik harus memiliki karakteristik, sederhana dan jelas, ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan, menolong untuk pengkomunikasian, usaha langsung untuk memahami kebijakan publik secara lebih baik ( manageable ) dan memberikan penjelasan & memprediksi konsekwensi. Model pembuatan kebijakan publik meliputi model elit, model kelompok, model kelembagaan, model proses, model rasionalism, model inkrementalism dan model sistem. Pada tulisan ini penulis akan membahas mengenai kebijakan publik yang menggunakan model kelompok.Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan. Dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk...

ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN)

TUGAS TERSTRUKTUR ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK (DEFINISI, URGENSI, PERKEMBANGAN, DAN LANDASAN) Disusun Oleh : KELOMPOK 1 Susanto P2FB12017 Regas Febria Yuspita P2FB12004 Rahmat Imanda P2FB12021 Ary Yuliastri P2FB12008 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN MAGISTER ILMU ADMINISTRASI PURWOKERTO 2012 Etika Administrasi Publik (Definisi, Urgensi, Perkembangan, dan Landasan) Oleh : Kelompok 1 Pendahuluan Etika administrasi publik pertama kali muncul pada masa klasik. Hal ini disebabkan karena teori administrasi publik klasik (Wilson, Weber, Gulick, dan Urwick) kurang memberi tempat pada pilihan moral (etika). Pada teori klasik kebutuhan moral administrator hanyalah merupakan keharusan untuk menjalankan tugas sehari-hari secara efisien. Dengan diskresi yang dimiliki, administrator publik pun tidak hanya harus efisien, tapi juga harus d...

Efisiensi dan Efektivitas dalam Birokrasi

  Oleh Regas Febria Yuspita, S.Sos P2FB12004 [1] Pendahuluan Penerapan Good Governance saat ini baik di tingkat pusat maupun daerah harus berpegang teguh dengan prinsip efisiensi, dan efektivitas.   Penerapan prinsip efektivitas dan efisiensi ini dilakukan karena permasalahan penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan seperti petugas pelayanan kurang responsif, kurang informatif kepada masyarakat, kurang accessible , kurang koordinasi, terlalu birokratis, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat dan inefisien. Efektivitas dan efisiensi secara bersama-sama sangat perlu diterapkan dalam penerapan Good Governance , karena suatu yang efektif belum tentu efisien, demikian juga sebaliknya suatu yang efisien belum tentu efektif. Suatu pekerjaan yang efektif belum tentu efisien karena hasil dicapai itu telah menghabiskan banyak pikiran, tenaga, waktu, maupun benda lainnya. Hal ini disebabkan karena efektif adalah mel...