Para ahli psikologi anak mengatakan bahwa lima tahun pertama adalah masa emas bagi seorang anak. Masa-masa ini tidak bisa terulang kembali. Ibuku selalu mengingatkan ketika putra-putriku masih kecil: "Masa kecil mereka tak terulang dua kali." Benar sekali. Waktu yang berlalu tidak akan kembali, dan masa kecil yang sudah lewat tidak mungkin diulang.
Seberapa pentingnya masa emas ini? Sejak si kecil menghirup udara pertama kali, dia mulai belajar dari pahit getirnya dunia. Tarikan napas pertama memperkenalkannya dengan kebutuhan dasar, yaitu bernapas. Para pakar menyarankan agar pada detik-detik pertama, si kecil segera diperkenalkan kepada bundanya. Maka, bayi yang masih merah dan licin itu diletakkan di atas dada bunda yang sedang sumringah bahagia. Tatapan pertama antara keduanya pun terjadi.
Apa yang kau lihat pada dirinya, Bunda?
Bangga? Kecewa? Kebencian? Sadarlah, Bunda, kesan pertama ini seringkali mewarnai sikapmu padanya dan akan berbalas dengan sikapnya padamu. Apapun juga, ukirlah rasa syukur dalam dadamu pada menit-menit pertama ini. Syukur karena masa kritis sudah berlalu bagi kalian dan karena Dia telah menghadiahkanmu amanah baru ini. Bangga karena engkau telah diberi kepercayaan oleh-Nya. Tutuplah syukurmu dengan doa harapan untuk masa depan kalian. Bersyukurah, niscaya Allah akan menambahkan nikmat-Nya padamu.
Hari-hari berikut tetap penting baginya. Senyum pertama, sakit pertama, ocehan pertama, makanan pertama, jatuh pertama, langkah pertama—semuanya yang pertama baginya, baik dan buruk, senang dan susah. Tahukah, Bunda, bahwa semua pengalamannya akan ia rujuk padamu? Apakah engkau senang jika ia menggigitmu saat menyusuinya? Ia akan menatapmu untuk mencari tahu apa reaksimu. Apakah engkau senang jika ia mempermainkan kucing? Ia akan menunggu reaksimu. Apa pendapatmu jika ia naik tangga? Engkaulah rujukan pertamanya dan bagaimana engkau menterjemahkan dunia ini padanya. Apakah dunia ini tempat penuh optimisme atau keluh kesah? Apakah dunia ini berbahaya atau penuh tantangan?
Ia akan mencarimu ketika jatuh dan terluka. Tangisannya keras sekali untuk menarik perhatianmu segera. Dan ketika engkau akhirnya datang menghibur dan mengobati lukanya, ia akan senantiasa mengingat bagaimana reaksimu melihat penderitaannya. Apakah engkau menyalahkan atau berempati?
Bunda, engkaulah guru pertamanya dalam arti yang sebenarnya!
Mungkin engkau tidak sadar seberapa besar peranmu bagi kepribadiannya. Karena engkau sibuk mencuci, menyetrika, memasak, dan melakukan seribu satu pekerjaan rumah lainnya. Maka kau sikapi anakmu dengan seadanya. Jika sempat, kau tanggapi dengan senyum optimis. Jika tidak, kau malah membentaknya ketika bermain dengan piring yang sedang kau cuci. Astaghfirullah, betapa beratnya untuk selalu sadar peran, di saat tugas menumpuk, badan penat, kepala berat, dan banyak alasan lainnya.
Bunda, itulah sebabnya kita perlu selalu bertaubat (istighfar), sebab terlalu banyak saat kita tidak memenuhi panggilan tugas dengan semestinya. Tugas seorang ibu, pendidik generasi yang akan datang, adalah tugas yang harus dijalankan 24 jam sehari, 7 hari seminggu, tanpa cuti.
Bagaimana kau tanggapi protesnya ketika kau akan meninggalkannya? Kantor sudah menunggu, bos bukan orang yang murah hati, sementara si kecil rewel "tanpa alasan". Benarkah jika ia tidak sakit maka ia tak boleh protes ketika kau akan pergi? Apakah itu "tanpa alasan"? Ia punya sejuta alasan untuk memintamu tetap mendampinginya. Kita punya seribu alasan untuk boleh meninggalkannya. Kita memang harus punya alasan yang tepat untuk meninggalkan balita kita.
Ketika kau pergi, dengan siapa ia kau titipkan? Baby sitter? Nenek-kakek? Bibi atau tempat penitipan anak? Apapun pilihanmu, bertanggungjawablah. Ajukanlah seribu pertanyaan mengapa engkau meninggalkannya, kepada siapa dan dengan persiapan apa. Tanyakan itu semua pada dirimu sendiri dan jawablah untuk dirimu sendiri. Janganlah engkau meninggalkannya hanya karena "sayang karirku jika berhenti sekarang", atau "sayang dong otakku jika aku hanya tinggal di rumah", atau "aku kan butuh aktualisasi diri". Ingatlah pesan ibuku puluhan tahun lalu: "Masa kecil mereka hanya sekali."
Aku ingat pesan itu hari ini, dua puluhan tahun setelah itu. Saat aku menikahkan anakku dengan pria pilihan hatinya, terbayang masa kecilnya dan pertanyaan di kepala: apakah aku sudah mendidiknya dengan benar sehingga ia sudah bisa meninggalkan rumah ini untuk menjalani kehidupannya sendiri? Sudah cukupkah bekal yang kuberikan padanya untuk menghadapi hidup?
Hari demi hari berlalu, masa kecilnya semakin jauh di belakang. Hari demi hari berlalu, kita semakin sadar betapa banyak yang belum kita lakukan untuknya. Tapi waktu tak pernah menunggu, tugas terus bertumpuk dan badan tak bertambah gesit. Sampai datang masanya kita terhentak dan tersadar betapa cepatnya waktu telah berganti.
Bersiaplah untuk dievaluasi olehnya, puluhan tahun setelah hari pertamanya bersamamu, atas segala perlakuan yang telah engkau berikan padanya. Puluhan tahun dari hari ini, ia bukan lagi makhluk kecil yang tak berdaya. Puluhan tahun setelah hari ini mungkin kitalah yang sudah tak berdaya dan berharap tidak ditinggalkan sendirian di rumah karena badan ini sudah renta.
**Doa untuk orang tua: Ya Rabb kami, ampunilah kami, dan ampunilah kedua orang tua kami, dan rahmatilah keduanya sebagaimana mereka telah menyayangi kami ketika masih kanak-kanak.**
Apakah Dzat Yang Maha Agung akan mengampuni? Apakah Dia akan menyayangi para orang tua? Lalu bagaimana jika saat sang putra masih kecil orang tuanya kurang sayang padanya? Akankah Allah juga mengurangi kasih sayang-Nya pada orang tua tersebut?
Alangkah beruntungnya orang tua yang anaknya cinta pada Allah, niscaya anak shalih akan mendoakan ibu-bapaknya. Aamiin (SAN 18032009).
Komentar
Posting Komentar