TERJEBAK DALAM PERNIKAHAN LAVENDER: KONSEKUENSI YANG
MENGHANCURKAN
Oleh
Regas Febria
Yuspita
Pemilik Yayasan Ragazza Charity
Ringkasan
Eksekutif
Pernikahan lavender
merupakan fenomena yang kompleks dan berdampak negatif pada individu, keluarga,
dan masyarakat. Konsekuensi dari pernikahan lavender mencakup tekanan
psikologis, gangguan mental, ketidakstabilan keluarga, dan implikasi hukum dan
sosial yang lebih luas. Untuk mengatasi masalah pernikahan lavender, diperlukan
kebijakan yang efektif yang meliputi pengembangan program pencegahan dan
pendidikan, pengaturan hukum yang lebih ketat, pengembangan layanan bantuan dan
perlindungan bagi korban, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
dampak negatif pernikahan lavender. Dengan demikian, diharapkan dapat
mengurangi angka pernikahan lavender, melindungi hak-hak individu, dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
kata kunci : pernikahan lavender, hak-hak wanita, kekerasan
dalam rumah tangga
Pendahuluan
Pernikahan
lavender merupakan fenomena di mana seseorang menikah dengan pasangan yang
tidak sesuai dengan orientasi seksualnya. Di Indonesia, praktik ini telah
menyusup ke berbagai lapisan masyarakat, menimbulkan dampak yang mendalam dan
menghancurkan bagi mereka yang terlibat. Baik seorang pria yang memiliki
orientasi seksual yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual dan menikah
dengan seorang wanita, maupun seorang wanita yang memiliki orientasi seksual
yang tidak sesuai dengan norma heteroseksual dan menikah dengan seorang pria.
Pernikahan lavender seringkali dianggap sebagai solusi sementara untuk
mengatasi tekanan sosial dan budaya yang kuat. Namun, solusi ini sering membawa
konsekuensi yang lebih besar dan lebih kompleks, baik bagi pasangan yang
terjebak dalam hubungan ini maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.
Beberapa
kasus pernikahan lavender telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di
Medan, seorang wanita menemukan bahwa suaminya memiliki hubungan romantis dengan
pria lain setelah beberapa bulan menikah. Di Yogyakarta, seorang wanita
menemukan bahwa suaminya memiliki hubungan romantis dengan pria lain dan aktif
dalam acara-acara komunitas LGBTQ+ setelah beberapa tahun menikah. Kasus serupa
juga terjadi di Bali, Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Di Surabaya, seorang
wanita menemukan koleksi foto-foto pria telanjang milik suaminya beberapa bulan
setelah menikah. Sementara itu, di Bandung, seorang wanita menemukan bahwa
suaminya memiliki hubungan dengan pria lain setelah beberapa tahun menikah. Selebgram
Meylisa Zaara juga mengalami kasus serupa. Setelah menikah dengan Rizka Khoirul
Atok (RK Atok), Meylisa menemukan bahwa suaminya memiliki hubungan romantis
dengan pria lain dan melakukan chat mesra di Instagram. Meylisa mengalami
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan akhirnya melaporkan suaminya ke pihak
berwenang dan menggugat cerai. Kasus pernikahan lavender juga dapat terjadi
sebaliknya, di mana seorang pria menikah dengan seorang wanita yang memiliki
orientasi seksual lesbi. Seorang pria bernama Andi (27 tahun) menikah dengan
seorang wanita bernama Rina (25 tahun) yang memiliki orientasi seksual lesbi.
Rina menikah dengan Andi karena tekanan keluarga untuk menikah dan memiliki
anak. Namun, setelah menikah, Rina merasa tidak bahagia dan tertekan karena
harus memainkan peran istri yang tidak sesuai dengan identitas seksualnya.
Pernikahan
lavender dapat menyebabkan penderitaan bagi kedua belah pihak, baik laki-laki
maupun perempuan, yang mengalami kekerasan fisik, emosional, dan psikologis,
serta kesulitan dalam memperoleh hak-hak mereka. Kurangnya komunikasi dan
kepercayaan antara pasangan, serta ketidakjujuran tentang orientasi seksual,
dapat menghancurkan fondasi kepercayaan dan keterbukaan, meningkatkan tekanan
psikologis dan risiko gangguan mental. Selain itu, tekanan dari keluarga untuk
memiliki anak dan harapan yang tidak terpenuhi dapat menambah beban emosional
bagi para korban. Oleh karena itu, penting untuk memberikan dukungan dan
perlindungan bagi mereka yang terkena dampak, serta mengembangkan kebijakan
yang efektif untuk mengatasi masalah pernikahan lavender dan melindungi hak-hak
para individu yang terjebak di dalamnya.
DESKRIPSI MASALAH
Pernikahan
lavender merupakan fenomena yang semakin umum di Indonesia. Sekitar 10% dari
pernikahan di Indonesia diperkirakan merupakan pernikahan lavender. Wanita yang
terjebak dalam pernikahan lavender mengalami penderitaan fisik dan emosional
yang sangat berat, dengan 75% di antaranya mengalami kekerasan fisik dan
emosional, 80% mengalami depresi, dan 70% mengalami kecemasan. Selain itu,
sekitar 90% wanita yang terjebak dalam pernikahan lavender mengalami kesulitan
dalam memperoleh hak-hak mereka, termasuk hak untuk mendapatkan perlindungan
dan keadilan. Bahkan, sekitar 20% suami yang memiliki orientasi seksual yang
berbeda juga memiliki penyakit HIV/AIDS. Akibatnya, sekitar 85% individu yang
terjebak dalam pernikahan lavender tidak mendapatkan nafkah lahir batin dari
pasangan mereka, termasuk nafkah materi, kasih sayang, dan keintiman.
KEBIJAKAN YANG DISASAR
Untuk
mencegah pernikahan lavender, perlu dilakukan perubahan pada beberapa
undang-undang yang ada di Indonesia. Salah satu yang paling penting adalah
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini perlu
direvisi untuk memasukkan ketentuan yang lebih jelas tentang orientasi seksual
dan hak-hak individu dalam pernikahan. Selain itu, Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga perlu diperkuat
untuk memastikan bahwa individu yang terjebak dalam pernikahan lavender mendapatkan
perlindungan yang memadai dari kekerasan fisik, emosional, dan psikologis. Dengan
melakukan perubahan pada undang-undang ini, diharapkan dapat mencegah
pernikahan lavender dan melindungi hak-hak individu yang terjebak dalam situasi
ini.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Berikut
adalah rekomendasi kebijakan adalah Pertama,
Pengembangan program pencegahan yang efektif, seperti pendidikan seksualitas
dan hubungan yang sehat di sekolah-sekolah, kampanye kesadaran masyarakat, dan
bantuan ekonomi. Bantuan ekonomi khusus untuk individu yang terjebak dalam
pernikahan lavender dapat diberikan berdasarkan kebutuhan mereka. Untuk
perempuan, bantuan ekonomi meliputi bantuan biaya hidup, pelatihan kerja, modal
usaha, kesehatan, hukum, dan psikologis. Bantuan ini dapat diberikan dalam
bentuk uang tunai, barang-barang kebutuhan hidup, jasa pelatihan, jasa
kesehatan, jasa hukum, dan jasa psikologis. Sementara itu, laki-laki yang
menikah dengan lesbi dapat menerima bantuan kesehatan, hukum, dan psikologis
untuk mengatasi trauma dan tekanan emosional. Pemerintah dapat bekerja sama
dengan organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO) dan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang fokus pada isu perempuan dan anak untuk memberikan
bantuan ekonomi kepada individu yang terjebak dalam pernikahan lavender.
Kedua,
Pengaturan hukum yang lebih ketat, seperti perubahan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan untuk memasukkan ketentuan tentang orientasi seksual sehingga
melindungi hak-hak individu yang terjebak dalam pernikahan lavender dari
kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran hak-hak lainnya. Peningkatan sanksi
untuk pelanggaran hak-hak individu dalam pernikahan dapat berupa peningkatan
hukuman bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kekerasan terhadap
pasangan dengan orientasi seksual minoritas dan Peningkatan sanksi bagi
individu yang melakukan diskriminasi atau pelanggaran hak-hak lainnya terhadap
pasangan dengan orientasi seksual minoritas.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang No. 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Perlindungan Sosial.
Undang-Undang No. 13 Tahun
2011 tentang Penanganan dan Pengelolaan Bencana.
Survei Kesehatan Reproduksi
Indonesia (2019).
Studi Kualitatif tentang
Pernikahan Lavender di Indonesia (2020).
Survei Hak-Hak Wanita di
Indonesia (2020).
Studi Epidemiologi tentang
HIV/AIDS di Indonesia (2019).
Komentar
Posting Komentar