dakwatuna.com – Sambil menangis Syafi’i kecil mengadu kepada ibunya. ”Aku tak mau lagi pergi ke sana. Mereka menolak kehadiranku. Namun dengan penuh kelembutan sang ibu terus menyemangati. ”Kembalilah
ke sana anakku, nanti jika engkau melihat anak-anak kaya itu belajar
duduklah di samping mereka. Tetapi jangan sampai mereka merasa
terganggu”. Satu dua kali nasihat itu dilaksanakan hingga akhirnya
ia bisa kembali belajar. Di usianya yang baru genap lima tahun bakat dan
kemampuannya mulai terlihat. Saat jam belajar selesai imam Ass Syafi’i
mengulangi pelajaran untuk kawan-kawannya. Keterbatasan ekonomi keluarga
tak menghentikan semangatnya menuntut ilmu. Usia 7 tahun ia telah
menyelesaikan hafalan al-Quran. Memasuki usianya yang ke delapan Syafi’i
kecil sudah terbiasa bergabung dengan para ulama. Pada usia 10 tahun
imam Syafi’i telah hafal kitab al-Muwattha sebelum bertemu dengan Imam
Malik, sang penyusun kitab hadits itu. Sedang pada usia 15 tahun ia
sudah diizinkan untuk memberi fatwa.
Imam As Syafi’i hanyalah contoh kecil bahwa bakat dan kemampuan
tidaklah datang secara kebetulan. Melainkan harus dibangun dan
direkayasa sejak dini. Jika Syafi’i menjadi ulama dan imam besar di
kemudian hari, itu adalah jasa dari ibunya. Selain nasab yang bersambung
kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga pola pembinaan yang
diterapkan kepada Syafi’i. Sejak kecil Syafi’i dikirim ke Mekah untuk
menimba ilmu dari para ulama. Dari sini kita mendapati bahwa generasi
Islam terdahulu dibangun melalui dua kaidah dasar. Pertama, ia lahir melalui rekayasa genetika (al-wirâtsah). Dan yang kedua melalui proses pembinaan (at-tarbiyah as-shâhihah).
Rekayasa genetika sesungguhnya dapat kita temukan dalam diri
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits Beliau
bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memilih dari keturunan Nabi
Ibrahim as yaitu Nabi Ismail as., dan memilih Kinanah dari keturunan
Nabi Ismail as., dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan memilih
dari keturunan Quraisy yaitu Bani Hasyim, dan Allah telah memilihku
dari keturunan Bani Hasyim”. (HR. Muslim, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban
dan Sunan Turmudzi)
Demikian, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam seorang dari sekian
banyak keturunan Adam yang dipilih oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Beliau dipersiapkan menjadi penutup risalah para nabi dan rasul jauh,
sebelum kelahirannya. Karena tugasnya yang berat maka dipersiapkan orang
yang tepat. Karena risalahnya yang mulia maka harus dibawa oleh orang
yang sama mulianya. Lalu sebagai pendukung dari tugas beliau dipilihkan
seorang pendamping yang sepadan. Khadijah ath-thahirah. Seorang wanita
yang selalu menjaga kesucian budi pekerti dan kedudukannya yang mulia di
tengah-tengah kaumnya. Serta kesucian dirinya dari noda-noda paganisme
pada zaman jahiliyah. Melalui perpaduan dua genetika inilah lahir ulama
sekelas imam asy Syafi’i.
Namun faktor genetika saja tidak cukup berpengaruh. Proses
selanjutnya adalah pola pembinaan. Untuk melahirkan seorang pemuda
pemberani maka harus dibina dan dilatih menjadi pemberani. Sebagaimana
para ulama lahir melalui pembinaan yang benar sebagai seorang ulama.
Ibnu Mas’ud RA berkata, “Dahulu kami -para sahabat- apabila belajar
kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam 10 ayat, maka kami tidaklah
mempelajari 10 ayat lain yang diturunkan berikutnya kecuali setelah kami
pelajari apa yang terkandung di dalamnya.”
Para ibu di zaman khulafa ar-rasyidin juga punya cara unik mengajari
generasi muda menjadi kesatria. Mereka tak pernah lupa menyertakan
anak-anak dan remaja dalam setiap pertempuran. Di banyak pertempuran
anak-anak dan remaja punya peranan khusus. Ketika ayah mereka berada di
garis pertempuran, di saat bersamaan para ibu sibuk menolong dan
mengobati korban yang terluka. Anak-anak dan para remajalah yang
bertugas menggali dan menyiapkan kubur bagi para syuhada.
Karena alasan inilah Umar bin Khathab memerintahkan orang tua
mengajari remaja berkuda, berenang dan memanah. Salah seorang di antara
mereka bahkan ada yang terkena panah dan meninggal. Namun tak menjadi
alasan bagi Umar menghentikan kegiatan belajar memanah.
Kemampuan mendidik dan membina generasi muda setidaknya menjadi modal
besar bagi sebuah bangsa. Kemajuan sebuah bangsa bukan hanya waktu yang
ditunggu kedatangannya. Melainkan harus dirancang dan direkayasa. Tidak
ada jalan lain kecuali dengan menghadirkan generasi muda yang siap
berkontribusi bagi bangsanya. Karena rahasia kemajuan sebuah bangsa ada
pada generasi mudanya. Wallahu alam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar