semoga kita selalu sakinah dalam keadaan ya bi, termasuk saat kita dalam masalah, atau bertengkar. Aku mencintai abi meskipun kita belum bertemua
dakwatuna.com – Kita
saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai sosial dalam
masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada kecenderungan makin
permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita. Keluarga tidak lagi
dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium ibadah kepada Sang
Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal sebagai
kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan
kehilangan makna sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang
terjadi.
Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah
garda terdepan dalam membangun masa depan bangsa peradaban dunia. Dari
rahim keluarga lahir berbagai gagasan perubahan dalam menata tatanan
masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang maju dalam
kondisi sosial keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali
sudah tidak lagi mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya. Karena
itu, Al-Qur’an memuat ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, mulai
dari urusan komunikasi antar individu dalam keluarga hingga relasi
sosial antar keluarga dalam masyarakat.
Banyak memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit
keluarga yang menyerah atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya
sendiri. Di antaranya memilih perceraian sebagai penyelesaian.
Kasus-kasus faktual tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih
banyak lagi kegelisahan yang melilit keluarga-keluarga di masyarakat
kita. Namun, umumnya kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya
kemampuan mereka menemukan alternatif ketika menghadapi masalah yang
tidak dikehendaki. Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mencari
kunci yang bisa mengokohkan bangun keluarga kita dari hempasan arus
zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata kunci itu adalah sakinah.
Makna Sakinah
Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan
keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang
berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu
digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota
keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan
subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama
anggotanya.
Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ
أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ
مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya
tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di
dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan
keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.”
Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan
bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat
ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut
ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi
penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.
Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ
الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ
جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا ح
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan
mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang
sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini
merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang
mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa
diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan
suasana tenang bagi orang lain.
Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga”
merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam
membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia
sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga
seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga.
Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka
merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi
dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.
Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus
yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena
rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami
tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri.
Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar
rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah
konsep keluarga yang dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski
kadang secara fisik tampak jauh di bawah standar nyaman.
Membangun Kenyamanan Keluarga
Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama.
Tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap
anggota keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling
mencari keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu.
Di sama terjadi proses pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan
formula yang lebih tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri,
maupun anak-orangtua.
Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga.
Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan
keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu
atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak
diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering
diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita
dapat belajar dari pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak
mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak
merugikan pelaku pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali
menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman
orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban
yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa
dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita
temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang
gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual
tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali
sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah
tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai
di tengah samudra luas kehidupan.
Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi
tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang
mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang
satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul
kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu
saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga
yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah
tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan,
kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda
yang pandai menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta
kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat
sentral kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan
panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat
kembali, baik bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka
rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu
merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman
rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan
inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan
pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun.
Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa
bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.
Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang
sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka
yang kerap merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula
sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun
tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya,
bukan surga lagi yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar.
Benar, orang tua tidak punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan
mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin
keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan
kepribadian mereka.
Lunturnya Semangat Sakinah
Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan
bentangan proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya
pun bukan hal yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di
sekitar kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita
untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah
kita.
Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, “Suami saya
akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak sulit kita cerna maksud utama
kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir sama, atau
bahkan persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap
penggalan kalimat tadi.
Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak
dikeluhkan istri. Masih banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya
sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan itu bisa datang kepada
suami, bisa juga menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu pula,
siapa pun bisa membuat seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya sudah
tidak harmonis, tidak bisa saling memahami, ingin mendapat keturunan,
atau tidak pernah cinta.
Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin
menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin
rapuh karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus di
mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang bapak
yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih
erat dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam
keluarga dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan
hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk
membenarkan posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua
kenyataan yang semakin memprihatinkan itu.
Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya
pergeseran nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak
lagi sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita
yang asli? Bukankah orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa
norma-norma yang mereka anut telah berhasil mengantarkan mereka
membentuk keluarga normal dan berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri
kita yang seperti sekarang ini? Lantas, kenapa kita harus larut dengan
segala riuh-gelisah perubahan zaman yang kadang membingungkan?
Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita
hindari. Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan
komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke
waktu, diam-diam telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran
baik-buruk tidak lagi bersumber pada moralitas universal yang
berlandaskan agama, tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai
artifisial yang dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan hedonis.
Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah membentuk perilaku sosial
dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema
keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan kegelisahan
yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya
masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi “masyarakat
baru” dengan wujud yang semakin kabur.
Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (
married by accident)
telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang
dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu.
Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang
banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan
bagian kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa
kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh
masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.
Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk
sekadar menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan
jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh
pengetahuan, dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya.
Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga
itu telah kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan
jalan hidupnya yang berbeda-beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku
adalah surgaku, akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi
yang semakin sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah
terpikirkan. Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya
membakar suasana rumah tangga.
Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, yaitu anak.
Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian
untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan pikirannya ideal.
Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya,
yang karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi.
Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologis yang sedang
dilaluinya juga masih belum mampu memberikan alternatif secara matang
terutama berkaitan dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena itu,
selama proses yang dilaluinya, hampir selalu ditemukan berbagai
perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu
berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan, terutama dalam
ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.
Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar,
seringkali menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan
anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi
perkembangan dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian,
pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus
mencerahkan. Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang
bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik. Dalam kerangka
seperti inilah, maka keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang
membimbing dan mencerahkan, atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat
memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara
yang hanya mampu menanamkan disiplin semu. Anak-anak bisa menjadi
manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika
keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari pengawasan orang
tua.
Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk
memenuhi kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan
terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antar
anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk selalu
dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga
dapat berakibat pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada
gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan
sosial seperti apa yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di
antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.