Rahasia اللام dan على dalam Doa Pernikahan
ABU MUHAMMAD AL-‘ASHRI
Pembaca
mulia, sebagai seorang muslim, kita tentu sering mendengar –bahkan
sejak kita kecil- bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang paling jelas dan
paling indah sehingga dipilih sebagai bahasa Al-Qur’an, bahasa umat
Islam.
Namun, barangkali kebanyakan di antara kita sering timbul
pertanyaan, “Di mana letak keindahan bahasa Arab?” atau “saya membaca
terjemahan Al-Qur’an kok biasa-biasa saja, tidak sesuai kaidah bahasa
Indonesia lagi atau jika disesuaikan, malah kaku jadinya” atau
pertanyaan-pertanyaan semisal.
Pembaca mulia, apakah kita pernah
mempelajari bahasa Arab? Jika jawabannya “Belum”, sangat wajar apabila
pertanyaan-pertanyaan di atas dapat muncul. Sesunggunya siapa pun yang
tidak menguasai bahasa Arab, tidak akan bisa mengetahui, di mana letak
keindahannya.
Nah, untuk mengungkap seluruh keindahan bahasa
Arab, tentunya tidak akan cukup dalam satu artikel. Dalam kesempatan
ini, penulis akan coba ketengahkan salah satu rahasia bahasa Arab dalam
hal preposisi (kata depan) semata. Ya, sebatas preposisi pun mempunyai
makna yang dalam.
Alasan ditulisnya artikel ini adalah ketika
beberapa waktu yang lalu, penulis mendapat undangan pernikahan dari
salah seorang ikhwan. Dalam undangan tersebut, teretera doa walimah
بارك الله لك و بارك عليك و جمع بينكما في خير1
/baarakallahu lak, wa baaraka ‘alaik, wa jama’a bainakuma fii khair/
Doa di atas, sering diterjemahkan
“Semoga
Allah memberi berkah padamu, dan semoga Allah memberi berkah atasmu,
dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
Sekilas,
terjemahan di atas sudah tampak benar. Akan tetapi, terjemahan
tersebut belumlah mewakili makna yang terkandung dalam doa walimah
tersebut.
Setelah melihat undangan tersebut, penulis menjadi
teringat penjelasan Al-Ustadz Al-Fadhil Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif
tentang perbedaan preposisi اللام dan على dalam doa walimah secara
khusus, dan dalam penggunaan bahasa Arab secara umum. Hal ini beliau
sampaikan ketika beliau memberi materi dalam daurah bahasa Arab kelas
takhossus Angkatan XI pertengahan tahun 2006 di Ma’had Al-Furqon
Gresik. Beliau juga memberikan faidah tambahan setelah menjelaskan
makna doa walimah tersebut, yang insya Allah akan penulis tuangkan
dalam artikel ini.
Rahasia Preposisi اللام dan على
Pembaca mulia, bila dilihat secara leksikal, memang tidak salah apabila kita menemui kalimat
بارك الله لك و بارك عليك و جمع بينكما في خير
Lalu kita terjemahkan,
“Semoga
Allah memberi berkah padamu, dan semoga Allah memberi berkah atasmu,
dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”
Pertanyaannya adalah, “Apakah pembaca dapat membedakan makna padamu dan atasmu dalam terjemah doa walimah di atas? Tentu tidak bisa bukan?
Penjelasan :
Pembaca
mulia, preposisi اللام /laam/ secara harfiyyah artinya memang bisa
diterjemahkan ‘pada’. Adapun على /’alaa/ dapat diterjemahkan ‘di atas’.
Akan tetapi, jika kedua preposisi tersebut terdapat dalam satu kalimat
secara bersamaan, makna preposisi tersebut tidak bisa lagi
diterjemahkan secara harfiyyah’ pada’ atau ‘di atas’ lagi. Namun, makna
اللام menunjukkan makna yang baik, sedangkan menunjukkan makna yang
buruk. Oleh karena itu, jika memerhatikan hal ini, doa walimah di atas
jika diterjemahkan akan menjadi panjang, yaitu:
“Semoga Allah
memberi berkah padamu di saat rumah tanggamu dalam keadaan harmonis,
dan semoga Allah (tetap) memberi berkah padamu di saat rumah tanggamu
terjadi kerenggangan (terjadi prahara), dan semoga Dia (Allah)
mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
Nah, bagaimana arti
di saat rumah tanggamu dalam keadaan harmonis bisa muncul? Jawabnya
adalah karena adanya preposisi اللام yang makna menunjukkan hal-hal
yang baik jika disandingkan dengan preposisi على dalam satu kalimat.
Konteks kalimat di atas adalah pernikahan, sehingga diketahui secara
pasti bahwa hal-hal yang baik dalam pernikahan adalah ketika pasangan
hidup dalam keadaan harmonis.
Demikian pula sebaliknya, arti di
saat rumah tanggamu terjadi kerenggangan (terjadi prahara) dapat muncul
sebagai terjemahan dari preposisi على . Preposisi ini akan menunjukkan
makna yang buruk jika disandingkan dengan preposisi اللام dalam satu
kalimat. Konteks kalimat di atas adalah penikahan, sehingga diketahui
secara pasti bahwa hal-hal yang buruk dalam penikahan adalah ketika
pasangan hidup mengalami kerenggangan atau prahara dalam rumah
tangganya.
Hal ini membawa pelajaran penting bagi setiap orang yang
akan menikah bahwa Nabi sudah mengisyaratkan dalam rumah tangga yang
akan dihadapi tidaklah selamanya dalam keadaan yang bahagia dan
harmonis. Setelah menikah nanti, seorang istri akan melihat sisi lain
dari sang suami, yang tidak ia ketahui sebelum menikah. Demiakian pula
sebaliknya, sang suami akan melihat banyak hal yang tidak diketahuinya
dari si istri setelah ia bergaul dengan istri beberapa hari pasca
pernikahan. Pertengkaran sangat mungkin terjadi antara suami dengan
istri, yang bisa muncul karena adanya kecemburuan, kesalahan dari salah
satu pihak, bahkan karena adannya hal-hal sepele sekalipun. Dalam
kondisi prahara ini, Nabi mengisyaratkan bahwa Allah bisa akan tetap
memberi berkah pada suami istri tersebut. Bagaimana sikap suami ketika
mengadapi kesalahan istri, demikian pula bagaimana istri ketika
menghadapi kesalahan suami adalah hal-hal yang telah diajarkan dalam
syariat Islam.
Anggapan bahwa rumah tangga selamanya 100% akan
harmonis, tanpa ada perselisihan dan pertengkaran adalah anggapan yang
keliru. Bagi yang sudah menikah, tentu mengetahui hal ini.
Nabi kita yang mulia, memberi sifat bagi wanita bahwa mereka adalah kaca-kaca, sebagaimana dalam sabdanya,
ارفق بقوارير
‘Lembutlah kamu kepada kaca-kaca (maksudnya para wanita)’
Dalam
kitab Fathul bari, dijelaskan bahwa wanita disamakan dengan kaca
karena begitu cepatnya mereka berubah dari ridho menjadi tidak ridho,
dan karena tidak tetapnya mereka (mudah berubah sikap dan pikiran),
sebagaimana kaca yang mudah untuk pecah dan tidak menerima kekerasan.2
Oleh karena itu, ulama jenius, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, memberikan nasehat kepada kita tentang wanita,
“…Sebuah
kata yang Engkau ucapkan bisa menjadikannya menjauh darimu sejauh
bintang di langit, dan dengan sebuah kata yang Engkau ucapkan, bisa
menjadikannya dekat di sisimu.”3
Bahkan, Nabi sendiri juga
menjelaskan bahwa sangat memungkinkan suami akan mendapati hal-hal yang
tidak ia kehendakai pada istrinya, tetapi hal tersebut Nabi larang
dijadikan alasan untuk membenci istrinya tersebut, sebagaimana dalam
sabda beliau
لا يفرك مؤمن مؤمنة إن كره منها خلقا رضي منها آخر
“Janganlah
seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya). Jika
ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya, maka ia akan ridho dengan
sikapnya (akhlaknya) yang lain)”4
Maka, benarlah apa yang pernah disampaikan Al-Ustadz Firanda bahwa
“Suami
yang paling sedikit mendapat taufiq dari Allah dan yang paling jauh
dari kebaikan adalah seorang suami yang melupakan seluruh
kebaikan-kebaikan istrinya, atau pura-pura melupakan kebaikan istrinya
dan menjadikan kesalahan-kesalahan istrinya selalu di depan matanya.
Bahkan terkadang kesalahan istrinya yang sepele dibesar-besarkan,
apalagi dibumbui dengan prasangka-prasangka buruk yang akhirnya
menjadikannnya berkesimpulan bahwa istrinya sama sekali tidak memiliki
kebaikan.”
Ustadz Firanda juga menyampaikan bahwa di
antara yang dilakukan syaitan kepada suami tatkala marah kepada istrinya
ialah dengan berkata,
” Sudahlah ceraikan saja dia, masih banyak
wanita yang shalihah, cantik lagi.., ayolah jangn ragu-ragu…” Syaithan
juga berkata, “Cobalah renungkan jika Engkau hidup dengan wanita seperti
ini.., bisa jadi di kemudian hari ia akan membangkang kepadamu… Atau
syaithan berkata, “Tidaklah istrimu itu bersalah kepadamu kecuali karena
ia tidak menghormatimu.. atau kurang sayang kepadamu, karena jika ia
sayang kepadamu ia tidak akan berbuat demikian.”
—Selesai penjelasan Ustadz Firanda—
Demikianlah,
syaithan berusaha memisahkan hubungan antara suami dengan istri.
Kesempatan yang tidak disia-siakan syaithan adalah ketika suami melihat
satu kesalahan istrinya, maka syaithan akan membisiki sang suami untuk
menjauhinya sampai menceraikannya. Namun, ingatlah kembali lafadz بارك
عليك ‘Semoga Allah memberi berkah kepadamu ketika kamu ditimpa prahara’
ketika manusia mengucapkannya di saat Anda menikah dulu.
Lalu,
bagaimana agar Allah tetap memberi berkah ketika rumah tangga ditimpa
prahara dan pertengkaran? Ketika penulis berupaya menyusun risalah untuk
menjawab pertanyaan ini, penulis sudah membayangkan berpuluh-puluh
halaman untuk menyelesaikannya. Maka, hal tersebut akan penulis sajikan
dalam artikel tersendiri. Namun, satu kunci pembuka untuk menjawab
pertanyaan di atas adalah sabda Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ألا إن المرأة خلقت من ضلع و أنك إن ترد إقامتها تكسرها فدارها تعش بها
Ketahuilah
bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan jika Engkau ingin
meluruskannya, maka Engkau akan mematahkannya. Oleh karenanya,
berbasa-basilah! Niscaya Engkau bisa menjalani hidup dengannya.”5
Maka, benarlah perkataan Adh-Dhohak,
“Jika
terjadi pertengkaran antara seorang dengan istrinya, janganlah ia
bersegera untuk mencerainya. Hendaknya ia bersabar terhadapnya , mungkin
Allah akan menampakkan dari istrinya apa yang disukainya.”6
Bumi Allah,
Ahad, 26 April 2009 pukul. 20.57
Ketika dinginnya malam semakin merasuk ke dalam tubuhku….
—Abu Muhammad Al-Ashri—
____________________________FOOTNOTE________________________________
1]
Lihat kitab المستدرك على الصحيحين /al-mustadral ‘ala shahihain/, karya
محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري /Muhammad bin Abdillah
Abu ‘Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi/, cet. I Beirut, tahun 1411 H /
1990 M : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha,
juz II, hal. 199, hadits nomor: 2745. Kitab ini dicetak bersama kitab
تعليقات الذهبي في التلخيص /ta’liqat Adz-Dzahabi fi At-Talkhiis/.
2] Periksan dalam Fathul Bari X/545
3] Periksa dalam kitab Syarhul Mumti’, XII/385.
4]
Lihat kitab صحيح مسلم /shahihil muslim/, karya مسلم بن الحجاج أبو
الحسين القشيري النيسابوري /Muslim bin Al-Hajjaj Abul Husain Al-Qusyairi
An-Naisaburi, cet. Beirut: Daar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, juz. II,
hal. 1091, hadits nomor: 1469. Kitab ini dicetak bersama kitab تعليق
محمد فؤاد عبد الباقي /Ta’liq Muhammad Fuad Abdul Baqi/.
5] Lihat
Kitab Lihat kitab المستدرك على الصحيحين /al-mustadral ‘ala shahihain/,
karya محمد بن عبدالله أبو عبدالله الحاكم النيسابوري /Muhammad bin
Abdillah Abu ‘Abdillah Al-Hakim An-Naisaburi/, cet. I Beirut, tahun
1411 H / 1990 M : Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tahqiq: Musthafa Abdul Qadir
Atha, juz 4, hal. 192, hadits nomor: 7334. Kitab ini dicetak bersama
kitab تعليقات الذهبي في التلخيص /ta’liqat Adz-Dzahabi fi At-Talkhiis/.
6] Periksa kitab Ad-Dur Al-Mantsur II/465
Tidak ada komentar:
Posting Komentar