Selasa, 29 Januari 2013

---~~~** SUCIKAN DIRI DENGAN AMAL SHALIH **~~~---


saudaraku…
Suatu hari Abu Darda’ mengirim sepucuk surat kepada saudaranya Salman al farisi. Ia menulis:

“Mari kita mengunjungi bumi Allah yang disucikan!.”

Salman ra membalas:

“Sesungguhnya bumi (Allah) tidak mensucikan seorangpun dari penduduknya. Sesungguhnya hanya amal shalih-lah yang dapat mensucikan diri manusia.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).

Saudaraku..
Tanah haram, negeri yang disucikan; Mekkah, Madinah dan Baitul Maqdis memang tidak pernah membuat penduduknya suci. Dan tidak pula menjamin orang-orang yang mukim di sana berselimutkan hidayah. Atau terhindar dari salah, khilaf, dosa dan maksiat.

Paman Nabi saw, yakni Abu Thalib. Semasa hidupnya dia berkorban jiwa, raga, harta benda dan seluruh potensi yang dimiliki untuk membentengi dakwah. Toh pada akhirnya, ia mati dalam keadaan kufur.

Ada orang yang tinggal di dekat masjidil haram, tapi ia belum pernah melaksanakan rukun Islam yang kelima, padahal usianya sudah lebih dari lima puluh tahun.

Berbuat aniaya terhadap pembantu. Tidak memberi upah supir pribadinya. Melakukan dosa besar. Dan yang senada dengan itu, juga terjadi di wilayah tanah haram Mekkah.

Suatu saat, seorang supir pribadi di sebuah perumahan di Madinah bercerita bahwa selama hampir dua tahun ia bekerja di kota Nabi tersebut, ia belum pernah melihat majikan laki-lakinya shalat Jum’at. Apatah lagi shalat lima waktu.


Saudaraku..
Amal shalih itulah yang akan mensucikan kita di hadapan Allah swt. Suci bukan berarti kita tak pernah melakukan dosa dan kesalahan. Kekhilafan dan kekeliruan. Maksiat dan pelanggaran.

Tapi amal shalih yang kita perbuat akan membersihkan dosa-dosa yang kita lakukan. Bukankah wudhu yang kita lakukan setiap akan melakukan shalat (bagi yang berhadats), itu akan mensucikan dosa yang lahir dari pandangan mata, tangan dan kaki kita?

Tidakkah shalat lima waktu, menjadi pelebur dosa di antara kelima waktu tersebut?. Satu Jum’at ke Jum’at berikutnya, juga sebagai penghapus dosa di antara keduanya. Antara satu umrah ke umrah berikutnya adalah penebus dosa di antara keduanya. Puasa Ramadhan, menjadi penghapus dosa setahun yang lalu. Dan seterusnya.

Sudah barang tentu, selagi kita tak melakukan dosa besar. Selama hanya dosa-dosa kecil yang kita lakukan. Karena dosa besar tak akan tersucikan kecuali dengan istighfar dan taubat.

Saudaraku..
Sebagaimana tanah suci tak akan pernah mensucikan penduduknya, maka demikian pula dengan bulan yang disucikan, yakni Ramadhan yang beberapa jam lagi akan menyapa kita.

Kita tak akan pernah menjadi makhluk suci di hadapan-Nya, jika kita tak mengetahui bagaimana cara menghargai kesucian bulan itu. Walaupun kita telah melewati Ramadhan sebanyak 45 kali.

Para salafus shalih, begitu antusias menyambut bulan suci umat Islam itu. Mu’alla bin Fadhl rahimahullah pernah berkata: “Mereka (salafus shalih) selama enam bulan berdo’a kepada Allah supaya disampaikan kepada bulan Ramadhan, dan berdo’a enam bulan berikutnya agar amalan mereka pada bulan Ramadhan diterima.”

Malam-malam Ramadhan, mereka isi dengan shalat tarawih dan qiyamul-lail serta munajat kepada-Nya. Siang harinya, selain puasa mereka banyak berderma, tilawah al Qur’an dengan penuh tadabbur. Menyediakan berbuka puasa. Berdo’a dan istighfar serta amalan lain yang nilai manfaatnya dirasakan oleh orang banyak.

Saudaraku..
Ramadhan hanya menjadi judul ‘bulan suci’. Jika kita tak mampu mengisi waktu-waktunya dengan ibadah dan ukiran amal-amal shalih. Sehingga ‘sosok muttaqin’ yang menjadi piala dalam perlombaan Ramadhan, hanya menjadi harapan, impian dan fatamorgana.

Siapkah kita mensucikan diri kita di bulan yang suci dan di negeri yang suci dengan ukiran amal-amal shalih? Wallahu a’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar