Rabu, 21 Agustus 2013

Hijab, I Love You





Inilah kisah yang mengawali aku mengenakan hijab. Saat itu, tahun 2003, awal aku kuliah. Di kampusku, sebagai mahasiswa baru yang beragama islam, diwajibkan untuk mengikuti kajian mingguan. Setiap mahasiswa baru membentuk beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri atas delapan orang. Dari kajian inilah aku belajar banyak mengenai ilmu agama. Memang saat SMA, aku hanya mendapatkan ilmu agama dari bangku sekolah, tapi dari kajian ini aku merasa aku baru mengenal agama yang ku anut dengan baik. Kami belajar membaca Al-qur’an, akhlak dan hijab. Di dalam kelompokku, ada dua orang yang belum mengenakan kerudung yaitu aku dan Rani. Keenam temanku lainnya telah memakai kerudung bahkan hijab yang lebar. Sifat dan kepribadian mereka pun sangat baik, mereka lembut dan halus. Lain halnya denganku, yang super cerewet dan bicaranya keras serta kasar. Kata orang jika aku bicara, maka jarak 10 meter itu masih terdengar jelas suaraku. Meskipun sifat dan kepribadianku bertolak belakang dengan mereka, mereka tetap memperlakukanku dengan baik. Bahkan murrobiku ”teh ina” dia terlihat begitu sangat menyayangiku. Kata beliau, aku ini lucu dan lugu. Karena hampir setiap hari aku berhasil mengocok semua perut teman-temanku dengan kejadian-kejadian lucu yang aku alami.
”regas itu lucu” kata Teh ina tersenyum
”teh ina bisa saja” jawabku malu
Teh ini sering mengajakku makan siang bersama, dan alangkah terkejutnya aku ketika hari ulang tahunku tiba. Tidak ada seorang temanku yang ingat, tetapi teh ina, entah tahu darimana, dia mengucapkan ”selamat ulang tahun kepadaku” dan memberiku sebuah kado. Saat itu, kami sedang menerima KHS semester 1.
”regas sini sebentar” kata teh ina melambaikan tangannya memanggilku
”iya teh” jawabku mendekati teh ina
”selamat ulang tahun ya. Teh ina punya hadiah untukmu” kata teh ina menyerahkan sebuah kado bersampul hati kepadaku.
”terima kasih teh” jawabku sumringah menerima kado dari teh ina
Setiba di kos, aku langsung membuka kado dari teh ina. Begitu ku buka, ternyata kado itu berisi sebuah buku tentang hijab dan dunia remaja. Isi buku itu benar-benar bagus. Namun, saat itu aku masih belum berminat untuk berhijab. Aku belum siap berhijab karena aku masih suka dengan pujian banyak orang tentang rambutku yang bagus, hitam legam, tebal, panjang dan berkilau.  Jika aku berhijab berarti semua orang tidak bisa melihat rambut indahku. Lagi pula, aku masih belum bisa mengubah karakterku menjadi karakter lembut dan sholehah seperti teh ina dan teman-temanku lainnya. Teh ina pun tidak pernah memaksaku untuk mengenakan hijab, dia hanya menasehati dengan suaranya yang lembut, bahwa ”seorang muslimah itu wajib berhijab”. Tapi kata-kata itu benar-benar belum masuk dalam otak dan hatiku dulu. Hanya sebatas masuk dan keluar saja tanpa peresapan lama dalam hatiku.

Kajian bersama teh Ina ini berlangsung selama enam bulan. Sebenarnya ada kelanjutannya, tapi aku tidak melanjutkannya. Aku belum siap untuk meneruskannya lebih dalam, bahkan berkecimpung di organisasi keislaman. Aku masih suka berjalan-jalan bersama teman-teman daripada mengikuti acara pengajian. Semakin lama hubunganku dengan teh ina pun semakin jauh, aku jarang bertemu dengan beliau, paling bertemu hanya sepintas lalu dan tersenyum.

Suatu ketika aku tanpa sengaja, saat mengikuti acara seminar. Aku bertemu dengan seorang ikhwan yang guanteng banget. Sebut saja namanya Akh Prio. Dia kakak kelas lain jurusan denganku. Dia sungguh mempesona hatiku. Bacaan Al-Qur’annya bagus sekali, orangnya yang bersih, tinggi besar. Benar-benar pria idamanku, aku pikir. Saat bertemu dia aku selalu melihat dia dengan seksama sampai tidak berkedip. Dalam hati aku berkata, ”sungguh senang ya jadi pacar dia”. Aku pun mencari banyak info tentang dia. Akhirnya berita aku suka dengan akh Prio terdengar oleh teh ina. Begitu mendengar berita itu, teh ina langsung menemuiku. Dia menanyakan kebenaran berita itu
”benar kamu suka ama Akh Prio?” tanya teh ina tiba-tiba
”eeh..gak kok teh” jawabku
”jaga pandangan yah” kata teh ina menasehati sambil memegang pundakku
”iya teh” jawabku singkat
Perkataan teh ina itu membuatku bertanya-tanya, ”apa sih yang dinamakan jaga pandangan itu? Bagaimana jaga pandangan itu”. Aku selalu bertanya-tanya. Sebenarnya aku ingin menanyakan kepada Teh Ina tetapi aku malu untuk menanyakannya. Aku pun mencari tahu sendiri.
Di sore hari, aku mendapatkan kabar kalau nenekku sakit masuk rumah sakit. Mendengar kabar itu aku langsung berniat pulang, tetapi hari sudah sangat sore. Aku minta tolong temanku untuk mengantarkanku ke terminal. Dia adalah teman laki-laki beda agama denganku. Di kesempatan itu, dia mengutarakan rasa sukanya kepadaku. Aku tidak menjawab pernyataannya, aku hanya berkata ”aku belum bisa menjawab saat ini. Karena aku harus pulang menemui nenekku”. Sebenarnya dia ingin mengantarkaku pulang ke rumah, tetapi aku menolaknya. Aku tidak mau melihat keluargaku tersentak dengan kehadirannya apalagi jika tahu dia memiliki agama yang berbeda dengan kami. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan keluargaku, terutama tanteku.

Begitu sampai di rumah sakit aku langsung menemui nenek yang sedang berbaring disana. Aku adalah cucu perempuan nenek yang paling dekat dan paling besar. ”mbah tidak apa-apa kok. Nanti juga sembuh. Jangan nangis ya” kata mbah menghiburku. Di suatu malam, saat aku sedang menemani mbah, tanteku berkata ”kenapa kamu tidak berhijab?”.
Aku menjawab sambil makan mie, ”aku belum siap tante”
”kenapa belum siap?” kata tante bertanya lagi
”sifat dan hatiku belum pantas untuk berkerudung tante. Masih terlalu banyak celah” kataku memberi alasan
”kalo menunggu hatimu dan sifatmu sempurna sampai kapan? Sampai kiamat?” kata tanteku memberi penjelasan
”gak juga sich tante. Tapi pokoknya aku belum siap tante” kataku
”kalo mau berkerudung jangan menunggu hatimu siap. Tapi sambil berjalan lah, berkerudung sambil memperbaiki diri. InsyaAlloh akan berjalan beriringan nanti” kata tanteku panjang lebar
Perkataan tanteku ini benar-benar masuk dalam hatiku. Hatiku menerima dengan baik perkataan tanteku. Dan benar-benar membuat aku tidak bisa tidur selama dua malam, memikirkan hal ini
”benar apa yang dikatakan tante? Kalo aku berkerudung menunggu sifatku seperti malaikat. Sampai kapan? Dari dulu belajar mengubah aja tidak bisa? Apakah sampai kiamat benaran?” kataku dalam hati sambil memutar-mutar guling.
”kalau sampai kiamat, berarti aku tidak pernah bisa berjilbab?”
”tapi kalau aku berjilbab rambutku tidak kelihatan? Tidak bakalan dipuji-puji orang lagi ya?” lanjutku
”terus kata orang-orang berkerudung itu panas dan gerah. Belum lagi katanya rambutnya jadi mudah berketombe dan rontok ” lanjutku lagi, rasanya ada setan yang membisikkan keraguan di hatiku.
”aku belum siap” kataku keras membangunkan ibuku yang tidur di sebelahku.
”tidur. Besok gantian tidur di rumah sakit menemani mbah” kata ibu menyuruhku tidur.

Keesokan paginya, tanpa sengaja aku mendengarkan pengajian di radio yang selalu disantap ibu untuk menemani beliau masak di dapur. Tema pengajian hari itu adalah tentang godhol bashor (menjaga pandangan). Setelah mendengarkan pengajian itu, aku berkata dalam hati ”oh begini yang dimaksud menjaga pandangan kata teh ina ya?”. ”aku tidak boleh menatap tajam kepada lawan jenis” lanjutku.

Kira-kira satu minggu full, aku menemani mbah di rumah sakit. Aku harus kembali ke kampus karena ulangan mid semester akan segera dimulai. Sesampai di kampus aku bertemu dengan akh Prio. Sepertinya akh Prio sudah tahu kalo aku menyukainya, dia benar-benar menundukkan saat berjumpa denganku. Saat itu pun aku bertemu dengan teh Ina, dia berkata  ”gimana sudah belajar jaga pandangan?” tanya Teh ina.
Pada kesempatan itulah aku bertanya kepada teh ina, ”belum teh. Teh, aku mau nanya-nanya boleh?” tanyaku kepada teh ini.
”tanya apa?” jawab teh ina ingin tahu apa yang mau aku tanyakan
”tentang jilbab” jawabku memberi tahu
”subhanalloh” kata teh ina lirih mendengarkan jawabanku.
Teh ina menjelaskan tentang hakikat berjilbab dalam pandangan islam untuk muslimah. Dia menjelaskan bahwa hijab itu memang merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslimah. Aku pun menjelaskan perkataan tanteku kepada teh ina. Teh ina pun menanggapinya dengan lembut
”iya benar tantemu, berkerudung itu tidak harus menunggu sampai sikap kita sempurna dulu” kata teh ina setelah mendengarkan perkataanku.
” Belum tentu teh ina yang berjilbab seperti ini teh ina sudah memiliki sikap bak malaikat. Teh ina juga masih belajar berjilbab” lanjut teh ina.
”tapi kalo aku berkerudung seperti teh ina. Aku belum sanggup” kataku
”pelan-pelan insyaAlloh nanti bisa. Sekarang belajar yang sederhana dulu ya, jangan penting kerudung itu harus mampu menutup aurat” kata teh ina menjelaskan
”iya teh” jawabku pendek

Saat itu pun aku menceritakan kepada teh ina, kalo aku memang benar menyukai akh prio. Teh ina cuma tersenyum menanggapi ceritaku, membuatku berkata
”tapi tidak mungkin akh prio suka ama aku ya teh” kataku kepada teh ina
”kok gitu?” jawab teh ina bertanya
”aku pikir akh prio pasti sukanya dengan wanita berkerudung lebar seperti teteh, tidak seperti aku” jawabku menjelaskan
”jodoh kita kan tidak tahu. Kalau kamu mau berjodoh dengan pria seperti akh prio. kamu  harus menjadi wanita sholehah” kata teh ina menjelaskan
”jodoh mba?” kataku bertanya
”iya, orang seperti akh prio tentu tidak ingin pacaran. Karena dalam islam, pacaran itu tidak ada kan”
”jadi langsung menikah yah mba?” tanyaku lagi
”iya. Kalau kamu mau berjodoh dengan pria seperti itu kamu harus memperbaiki diri. belajar berjilbab dan menundukkan pandangan juga ya” jawab teh ina kepadaku
”iya aku ingin punya suami seperti akh prio, suami sholeh yang ganteng” jawabku ceria
Setelah curhat dengan teh ina aku kembali pulang. Aku mencoba beberapa kerudung. Rasanya saat itu, keinginan ku untuk berkerudung benar-benar menggebu-gebu, walaupun karena termotivasi ingin menjadi istri dari seseorang yang aku sukai. Saat itu aku memakai kerudung, namun masih sebatas kerudung bisa, belum sebuah kerudung lebar seperti yang teh ina kenakan. Aku pun masih memakai celana bukan rok. Keesokan paginya, perubahanku mengenakan kerudung ternyata benar-benar mendapatkan sambutan yang baik dari semua teman-teman baik perempuan maupun laki-laki. Mungkin mereka berpikir, tidak akan ada lagi, wanita yang suka memamerkan rambut indahnya. Mereka mengucapkan selamat dan agar aku istiqomah dengan keputusanku.

Perjalanan setelah mengenakan kerudung benar-benar berat, kadang membuat aku ingin melepaskan kerudung ini. Dari mulai tidak bisa mengikat kerudung, membuat lamanya dandanku, sering telat dan panas. Tetapi aku berusaha tetap istiqomah. Lambat laun aku mencoba untuk belajar mengenakan jilbab lebar dan memakai rok. Rasanya hangat sekali saat aku mengenakannya. Aku pun sudah tidak terlalu menyukai akh prio, karena pada semester akhir dia telah memilih seorang akhwat untuk dia jadikan istri. Istrinya berkerudung lebar. Sejak saat itu aku mengistiqomahkan diri untuk berkerudung lebar, ”aku akan berusaha menjadi lebih baik agar Alloh SWT dengan laki-laki sholeh seperti akh prio” kataku dalam hati



Tidak ada komentar:

Posting Komentar