Rabu, 20 Juni 2012

BERAKHLAK DENGAN NAMA-NAMA ALLAH



Bagi para sufi, berakhlak dengan nama-nama Allah swt (takhalluq) merupakan sebuah peningkatan bagi perjalanan jiwa. Fase ini juga bisa dikatakan fase aplikasi setelah proses-proses penyucian jiwa dengan membuang tabiat-tabiat buruk dan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan. Takhalluq tak lain adalah meneladani Allah swt dengan segala sifat-sifat mulia-Nya.

Sifat dan nama Allah swt kita kenal dengan sebutan Asma'ul Husna. Dalam sifat itu ada beberapa sifat yang juga bisa disematkan kepada sifat-sifat manusia, seperti: mendengar (sama’), melihat (bashar), berbicara (kalam), mengetahui (Urn), berkehendak (iradati), berkuasa (qudrati), dan hidup (hayy). Asma'ulhusna dapat juga disematkan kepada sifat manusia secara maknawi, seperti: mulia (karim), dermawan (juud), murah hati (hilm), kasih sayang (ra'fah), sabar (shabr), syukur, adil, dan penyayang (rahmah).

Menurut para sufi, takhaluq' dengan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam asma'ul husna adalah dengan menyerap makna-makna asma'ul husna ke dalam dirinya. Bagi siapa saja yang telah menyerap sifat-sifat Allah ke dalam dirinya maka merupakan peningkatan diri (irtiqa').

Namun ada sifat yang boleh diserap seorang hamba dan ada yang tidak. Menyerap sifat Allah yang ada dalam diri kita juga memiliki batasan-batasan sebab Allah berkedudukan sebagai Tuhan dan manusia sebagai makhluk. Allah mendengar dengan pendengaran yang tak terbatas sementara manusia terbatas. Allah melihat tanpa penghalang sementara pandangan manusia dipenuhi berbagai tabir. Demikianlah seterusnya.

Jadi manusia tetap sebagai hamba Allah yang harus mengerjakan apa yang diperintahkan (taklif), sedangkan Allah adalah Tuhan yang tidak dimintakan pertanggung-jawaban atas apa yang telah dilakukan-Nya. Allah memiliki sifat murah hati, begitu pula manusia, akan tetapi Allah akan bersifat murah hati kepada siapa yang dikehendaki dengan tidak ada kewajiban atau tuntunan bagi-Nya.

Sedangkan manusia harus menggunakan sifat murah hatinya kepada hal-hal yang dibenarkan dan ia tidak dibenarkan untuk bersifat murah hati kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah, seperti bersifat murah hati kepada kemaksiatan, karena kondisi seperti ini tidaklah dibenarkan.
‘ “Ingatlah selalu akan sifat-sifat Rububiyah Allah swt dan bergantunglah kepada-Nya, dan ingatlah sifat-sifat kehambaanmu dan lakukanlah sungguh-sungguh penghambaan itu.” (Ibnu Athaillah)


Tak Ada yang Setara dengan Dia

Menurut Said Hawwa, ada hal-hal penting yang mesti diperhatikan dalam pembahasan takhalluq bi asma'u lillah, berakhlak dengan nama-nama Allah.

Di dalam surah al-Ikhlas terdapat lima sifat Allah yang hanya dimiliki oleh Allah saja (salbiyyati), yaitu: Maha Esa (wahdaniyyati), Pertama (awwaliyyati) dan Terakhir (qidarri), Azali dan Kekal (baqa ), Berdiri sendiri (qayyuni) dan tidak memerlukan siapa-siapa (istighna), dan Tidak ada yang menyerupai-Nya.

Kelima sifat Allah di atas tidak mungkin dimiliki oleh makhluk-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat disifati "Esa" (wahdaniyyati) karena setiap suatu itu berbilang atau mungkin dapat berbilang, tersusun atau mungkin dapat disusun. Tidak ada sesuatu pun yang sifat-Nya pertama dan terakhir karena pasti memiliki permulaan dan akhir. Tidak ada sesuatu pun yang sifat-Nya kekal abadi karena pasti mendapatkan kepunahan. Tidak ada sesuatu pun yang berdiri sendiri karena pasti memerlukan orang lain; dan tidak ada yang keberadaannya tidak memiliki tandingan karena pasti memiliki tandingan. Hanya Allahlah yang dapat disifatkan dengan sifat-sifat tersebut.

Sebagian makna asma'ul husna menunjukkan sifat-sifat ketuhanan yang tidak boleh dikenakan kepada hamba-Nya, seperti keagungan ('azhamah), kesombongan (kibriya), dan ketuhanan (rabb). Dalam hadits qudsi disebutkan,

"Kesombongan adalah selendang-Ku, Keagungan ('azhamah) adalah sarung-Ku. Barangsiapa yang melawanku atas keduanya maka akan Aku binasakan.”

Manusia yang paling tinggi menerapkan sifat-sifat Allah (takhalluq) dan menyerap sifat-sifat mulia (tahaqquq) dalam dirinya adalah Rasulullah saw. Oleh karena itu, seseorang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyerap sifat-sifat Rasulullah karena dalam diri beliau merupakan perpaduan antara takhalluq (penyerapan sifat-sifat Allah) dan sifat manusia karena kedudukannya sebagai hamba Allah.

Allah berfirman, "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. at-Taubah [9]: 128).

Dari perkataan ini dapat kita simpulkan bahwa seorang yang mengikuti Rasulullah pasti ia akan sampai kepada kesempurnaan, sedangkan orang yang mencari jalan dengan tidak mengikuti Rasulullah pasti ia akan tergelincir pada kesesatan.

Tidak dikatakan ia telah benar-benar mengikuti Rasulullah dalam hal tahaqquq dan takhalluq kecuali dengan banyak berzikir, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an,

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah (zikir)." (QS. al-Ahzab [33]: 21)

Untuk dapat menyerap akhlak Rasulullah dalam diri kita, memerlukan pengetahuan tentang al-Qur’an, hadits, dan sejarah Nabi (sirah). Karena, akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, dan seluruh akhlak mulia yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan akhlak dari Rasulullah, dan dari seluruh sejarah hidup Rasulullah tecermin kesempurnaan akhlaknya.

Dan, hal yang paling penting untuk diikuti dari sifat-sifat beliau adalah: jujur (shidq), amanah, menyampaikan (tabliqh), dan cerdas (fathanah). Setiap salik akan meneladani ini dengan tak pernah berdusta, senantiasa memegang amanah kebaikan dan menyampaikan segala hal yang menjadi manfaat bagi orang lain, termasuk ilmu, dan ia juga adalah sosok yang cerdas yang senantiasa haus akan hikmah bagi jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar