Rabu, 13 Juli 2016

serta wulangreh

Pada awalnya, ketika saya memposting tulisan ini sekedar untuk mengungkapkan uneg-uneg dan pendapat saya pribadi tentang Surat Wulangre. Tetapi setelah begitu banyak rekan yang meminta saya untuk melengkapi tulisan tersebut, maka sebatas kemampuan saya pasting lagi Yasa Dalem Ingkang Sinuhun Pakubuwana IV yang monumental terebut yang kali ini kita memasuki Pupuh III yakni Tembang Gambuh. Pupuh Ini meliputi 14 pada yang secera teknis sudah masuk ke inti Serat Wulangreh.
Dalam filosofi tembang Macapat, Gambuh merupakan perjalanan hidup dimana seseorang menginjak usia aanak-anak. Anad bingung dengan pernyataan ini??? Baiklah, sebelum membahas lebih jauh enambelas pada tembang macapat dalam Pupuh III serat Wulangreh, sedikit kami ingatkan memori anda tentang filosofi Tembang Macapat.
Kenapa disebut Tembang Macapat, akan kami sampaikan pada kesempatan yang akan datang. Yeng perlu saya gugah memori anda adalah Filsafat tembang Macapat itu sendiri. Tembang Macapat terdiri atas:
1. Mijil
2. Maskumambang
3. Gambuh
4. Sinom
5. Asmarandana
6. Dhandhanggula
7. Kinanthi
8. Durma
9. Pangkur
10. Megatruh
11. Pocung
Urutan dan penamaan Tembang Macapat tersaebut, melambangkan perjalanan hidup manusia. Mijil misalnya adalah lambang kehidupan awal manusia yaitutembang Macapat dimulai dari kelahiran. Tetapi perlu diingat bahwa dalam karangan yang berwujud tembang semacam Serat Wulangreh tidak hasrus selalu dimulai dengan Tembang Miji. Tetapi jenis tembang yang dirangkum dalam pupuh, lebih pada upaya memberikan “ruh” dan “semangat” serta “watak” dari pada yang diwakilinya.
Watak dari tembah Mijil mewakili semangat kelahiran manusia. Sebagaimana diketahui, ketika “mijil” atau lahir, manusia tidak memiliki kekuatan apapun. Dia sangat tergantung kepada kemurahan lingkungannya (Baca: ayah dan ibunya). Sehingga watak dan karakter tembang mijil adalah bentuk “kapasrahan total seorang anak kepada orang tuanya. Kepasrahan ini buka karena kesadaran tetapi pasarahnya seorang bayi ketika lahir adalah karena naluri. Disini yang menjadi sasaran dari tembang mijil dititik beratkan pada tanggung jawab orang tua.
Maskumambang adalah perwatakan manusia setelah Mijil. Bagai emas yang kumambang (emas yang berada diatas air),indah dan sangat berharga. Itulah keadaan manusia beberapa saat setrelah lahir sampai beberapa tahuin kedepan. Manja, tak mau mengalah, ingin dilihat, dipuji dan berwatakan kanank-kanak yang lain akan sangat manis apabila dikemas dalam tembang mas kumambang.
Setelah itu Gambuh. Begitulah karakter anak adolesensia. Bukan anak-anak tetapi juga belum remaja. Masa=masa peralihan semacam ini adalah usia “cuek” dan semau gue. Gambuh adalah kata lain dari ungkapan “embuh”, persetan! Usia ini anak-anak memiliki karakteristik kaduk wani kurang duga, terlalu bersar keberanian tanpa duga (perhitungan).
Nilai filosofis apa yang terkandung dalam Pupuh III Serat Wulangreh dapat dilihat dari pada-pada yang dirangkai berikut ini. Saya yakin, bukan tanpa alasan Manguknegara IV memilih tembang Gambuh untuk memulai materi serat Wulangreh. Oleh karena itu, marilah kita cermati Pupuh III, berikut ini.
Dalam bait-bait pada pupuh III, Ngarsa Dalem benar benar mengucapkan tanpa beban., Sesuai dengan watak tembang Gambuh, pupuh berikut banyak kalimat-kalimat vulgar yang kadang terasa kasar. Tapi begitulah realita yang dihadapi Mangkunegara IV yang pada kenyataannya masih sangat relevan sampai sekarang.
Sementara lupakan dulu makna filosofis tembang macapat yang belum kita bahas, antara lain : Sinom Asmarandana, Dhandhanggula, Kinanthi, Durma, Pangkur, Megatruh ndan Pocung.
Kita mulai lagi membahas Serat Wulangreh, melanjutkan postingan saya terdahulu
SERAT WULANGREH
Yasa Dalem : Sri Susuhunan Pakubuwana IV
Lanjutan dari pupuh I dan II
PUPUH III
G A M B U H
01
Sekar gambuh ping catur,
kang cinatur polah kang kelantur,
tanpa tutur katula-tula katali,
kadaluwarsa katutuh
kapatuh pan dadi awon.
Tembang gambuh yang keempat
Yang dibicarakan, (adalah) tingkah laku yang kebablasan
Tanpa kata (benar) terbata-bata tidak karuan
Kalau sudah terlanjur, siapa yang disalahkan
Biasa (seperti itu) akan menjadi buruk
Pada tembang gambuh yang keempat, merupakan potret watak buruk manuasia yang tidak pantas untuk diteladani. Manusia yang pada umumnya suka berbicara tidak menentu. Pada akhirnya penyesalan akan selalu datang terlambat. JIka hal semacam itu dilakukan, tak ada yang bisa disalahkan. Watak buruk manusia jenis ini banyak diketemukan terlebih disjaman sekarang. Berbicara berlebihan, membual, menghujat dan bergunjing seakan menjadi konsumsi sehari-hari. Infotainment, debat adalah bentuk konkrit yang sudah dideskripsikan oleh Mangkunegara 4 lima sejak abad yang lalu.
02
Aja nganti kebanjur,
barang polah ingkang nora jujur,
yen kebanjur kojur sayekti tan becik,
becik ngupayaa iku,
pitutur ingkang sayektos.
Jangan sampai terlanjur
Segala tindakan yang tidak jujur
Kalau terlanjur sungguh sangat tidak baik
Lebih baik carilah
Petujuk (ajaran) yang sebenarnya
Oleh karena itu, kanjeng Susuhunan sudah memberikan “warning” untuk kita tidak terlanjur pada perbuatan yang tidak jujur. Karena apabila sudah terlanjur (terucap) semuanya akan menjadi tidak baik.
Sekali lagi, Wulangreh mengingatkan (lamun sira anggeguru kaki, amiliha manungsa kang nyata dst….) , pada pada ini ditutup dengan peringatan untuk lebih baik belajar dengan berdasar pada ajaran yang sebenarnyaa.
03
Pitutur kang bener iku,
sayektine kang iku tiniru,
nadyan melu saking wong sudra papeki,
lamun becik wurukipun,
iku pantes sira anggo.
Nasihat yang betul itu
Sesungguhnya itulah yang harus ditiru
Meski datang dari orang yang hina dina
Jika baik ajarannya
Itu pantas kamu pakai
Dalam masalah ilmu, Mangkunegara IV tidak pernah membuat diskriminasi. Karena masalah benar-dan salah adalah masalah rasa bukan masalah ilmu semata. Benar dan salah adalah hakikat. Barangkali Kanjeng Susuhunan bermaksud menegaskan Sabda Rasullulah SAW untuk tidak melihat siapa yang berkata tetapi lihatlah apa yang dikatakan. Nasihat, meski datang dari orang kalangan manapun harus tetap didengarkan (dan dilaksanakan) sepanjang nasihat itu bertujuan baik.
04
Ana pocapanipun,
adiguna adigang adigung,
pan adigang, kidang adigung pinasti,
adiguna ula iku,
telu pisan mati samyoh.
Ada sebuah pepatah
Adigana, adigang, adigung
Adigang itu watak kijang, adigigung sudah pasti
Adiguna itu ular
Ketiga-tiganya mati bersama
Watak terburuk manusia adalah adigang, adigung dan adiguna. Ketiga watyak itu harus dihindari pleh siapapun karena tidak ada baiknya sama sekali.  Ketiga watak itu direpresentasikan dengan perilaku dan watak binatang. Adigang adalah watak kijang. Adigung adalah watak Gajah dan Adiguna adalah watak ular.
05
Sikidang umbagipun,
ngendelaken kebat lumpatipun,
pan si gajah angendelken gung ainggil,
ula ngendelaken iku,
mandine kalamun nyakot.
Kijang dikatakan begitu
Memamerkan cepat larinya
Kalau Gajah menyombongkan tubuhnya yang tinggi besar
Sedang ular yang diandalkan adalah
Ampuhnya bisa(racun) jika menggigit
Disebut berwatak adigang, karena kijang suka membanggakan diri dengan kecepatannya dalam berlari. Representasi kijang ini seringkali diketemukan sebagai watak manusia yang suka pamer pada kekayaannya. Dengan kata lain watak adigang adalah watak buruk manusia yang diperbudan dan membagakan diri pada kekayaan materi.
Sementara Gajah yang berwatak adigung adalah lambang manusia yang membanggakan diri dengan kekuasaan yang dimilikinya. Jabatan yang tinggi dan kedudukan yang strategis baik didalam maupun diluar pemerintahan akan menjadi racun dalam hidupnya karena virus kekuasaan akan senantiasa menjadi watak abadi manusia. Wulangreh mengingatkan agar manusia tidak memiliki watak Adigung seperti gajah. Kekuasaan tidaklah abadi. Pangkat dan jabatan hanyalah sampiran yang pada khirnya justru akan menjerat dirinya.
Kemudian Adiguna. Watak ini biasa melekat pada manusia yang merasa dirinya pandai. Kepandaian yang dimiliki oleh Kanjeng Susuhunan diibaratkan seperti ular yang menyombongkan diri dengan bisanya yang ampuh dan mematikan. Adiguna adalah watak manusia yang sombong dan congkak dengan ilmunya. Dia merasa bahwa ilmu yang dimiliki bisa untuk melakukan apa saja bahkan membalik takdir dan keadaan.
06
Iku upamanipun,
aja ngendelaken sira iku,
tukang Nata iya sapa kumawani,
iku ambeke wong digung,
ing wasana dadi asor.
Itulah ibaratnya
Janganlah kamu menyombongkan diri
Mentang-mentang dirimu Raja, siapa yang berani
Itu watak orang yang adigung
Akhirnya juga aakan jadi hina
Bagaimanapun sifat sombong atas kelebihan yang dimiliki seseorang tidaklah patut dipelihara. Metafora yang daimbil Mangkunegara IV pada akhirnya akan menjadi watak yang hina karena adigang, adigung adiguna akan menjadi jerat bagi perilakunya sendiri. Kijang, gajah dan ular adalah personifikasi yang tepat bagi watak buruk manusia.
07
Ambek digang puniku,
angungasaken kasuranipun,
para tantang candala anyenyampahi,
tinemenan boya purun,
satemah dadi geguyon.
Sedangkan watak adigang itu
Memamerkan kekuatannya
Siapa saja ditantang sambil menyumpah-nyumpah
Tapi taka ada yang mau (melayani tantangannya)
Akhirnya justru jadi tertawaan.
Mengenai watak adigang yang memamerkan kekayaan dan materi sebagai kekuatan seringkali membuat seseorang lupa diri. Dia akan memandang rendah orang lain dan biasanya tidak segan menggunakan kata-kata kasar dan kotor.
Lihatlah “kijang-kijang” njaman sekarang. Kekayaan yang dimilikinya telah membuatnya lupa diri dan menantang siapa saja. Tidak peduli dia memiliki kemampuan atau tidak, kekayaannya telah membuatnya menjadi penguasa. Bupati, anggota DPR, aArtis adalah bukti yang tak terelakkan dari watak kijang. Hartanya telah membuatnya tergoda untuk memperoleh kekuasaan dan legitimasi bahwa dia bukan hanya kaya dibidang materi, tetapi juga “pintar” dan “berkuasa”. Secara tidak mereka sadari, rakyat akhirnya melihat dan mentertawakan kelakuan mereka.
08
Ing wong urip puniku,
aja nganggo ambek kang tetelu,
anganggowa rereh ririh ngatiati,
kawang-kawang barang laku,
den waskitha solahing wong.
Orang hidup itu
Jangan memakai watak ketiga-tiganya (adigang, adiging, adiguna)
Pakailah kesabaran, kehalusan dan kehati-hatian
Semua tindak dan tingkah laku
Waspada terhadap tindakan orang
Ada solusi untuk mengatasi virus adigang aduigung dan adiguna, yaitu kehalusan budi pekerti, kesabaran dan kehati-hatian. Semua tindakan dan tingkah laku seharusnyalah mengindari watak adigang, adigung, adiguna. Dengan berbekal kehalusan budi pekerti, manusia akan mampu merasakan penderitaan orang lain. Jiwanya akan menjadi peka dan rasa kepedulian terhadap lingkungan akan menjadi tinggi. Jika diberikan kesermpatan berkuasa dia akan mampu mendengar penderitaan rakyat.
Kesabaran juga menjadi alat untuk menghadang badai watak kebidatangan manusia. Dengan kesabaran seorang pemimpin akan menggunakan hatinya dalam menangani tiap permasalahan.
Sedangkan kehati-hatian diperlukan untuk mengantisipasi watak adiguna. Hal ini bisa difahami, kependaian akan membuat orang lupa diri dan kurang berhati-hati.
09
Dening tetelu iku,
si kidang suka ing panitipun,
pan si gajah alena patinireki,
si ula ing patinipun,
ngedelken upase mandos.
Karena ketiga-tiganya itu
Si Kijang suka pada sanjungan
Sedangkan gajah, jika ceropoh akan mati juga
Sedang matinya ular
Justru pada bisanya yang ampuh
Yang paling mungkin terjadi apabila kita berwatak adigang, adigung dan adiguna adalah mati atau celaka karena perbuatan diri kita sendiri. Si Kijang akan terlena dengan sanjungan yang dioterimanya.. Gajah, karena kekuatannya dan Ular akan mati oleh bisanya sendiri.
10
Tetelu pan nora patut,
yen tiniru mapan dadi luput,
titikane wong anom kurang wewadi,
bungah akeh wong kang nggunggung,
wekasane kajalomprong.
Ketiga-tiganya sungguh tak pantas
Jika ditiru justru kan menjadi salah (fatal)
Ciri-ciri anak muda kurang menjaga diri
Banyak orang yang menyanjung
Akhirnya akan terjerumus
Wulangreh melihat ketiga watak tersebut sebagai hal yang sama sekali tidak patut. Apabila kita meniru watak Gajah, Kijang dan Ular justru akan menjadi kesalahan fatal yang tak termaafkan.  Celakanya, watak-watak semacam ini justru rawan dikalangan anak muda. Anak muda biasanya belum mampu menahan diri terhadap sanjungan. Belum kuat menerima beban seperti gajah dan belum peka terhadap kekuatan bisa. Anak muda yang dikaruniai kekayaan (entah karena usahanya sendiri atau pemberian orang tua) sangat riskan terhadap sanjungan. Jika tidak hati-hati dia akan terjerumus pada hal-hal negatif. (Narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya adalah bukti dari peringatan watak kijang tadi)
Sementara itu, anak muda yang sudah dipercaya memegang kekuasaan, dia akan sangat beresiko terhadap kiemampuannya memilah dan memilih serta mengambilan. Gajah adalah representasi yang tepat bagi anak muda yang deikaruniai kesempatan memegang kekuasaan. Lihatlah ketua-ketua partai yang berusia muda seringkali lalai bahwa dirinya membawa watak gajah yang sungguh sangat berbahaya tanpa pengelolaan.
Lalu adiguna bagi anak muda bagaimana? Mereka adalah generasi yang matang sebelum waktunya. Kepandaian secara akademik ternyata tidak menjadi jaminan dia akan bijaksana dalam pergaulan hidup di lingkungannya. Itulah sebabnya, beberapa kalangan pendidik mempertanyakan efektivitas kelas akselerasi dan kelas-kelas khusu dalam sekolah formal.
11
Kumprung wong pengung bingung,
wekasane lali nora eling,
yen den gunggung katone amuncu-muncu,
wong pengung sangsaya dadi,
kaya wudun meh mencothot.
Maklumlah orang bodoh yang bingng
Akhirnya lupa tidak ingat
Disanjung menjadi salah tingkah (mulutnya mencibir)
Kebodohannya semakin menjadi
Mirip bisul yang mau pecah
Anda tahu bagaimana bisul yang akan pecah? Pada bait ini Mangkunegara dengan sangat jenaka mengibaratkan orang yang telah diselimuti watak adiguna. Boleh jadi secara akademik dia pandai, tetapi tidak dalam aplikasinya. Ketika disanjung tak jarang akan membuatnya salah tingkah. Mulutnya cengar cengir, bloon dan kebodohannya semakin tidak bisa disembunyikan. Banyak personifikasi buruk untuk orang semacam ini, tetapi bisul yang akan pecah sungguh personifikasi yang sangat tepat.
12
Ing uwong kang anggunggung,
mung sepele iku pamrihipun,
mung warege wadhuke klimising lathi,
lan telese gondhangipun,
rerubo alaning uwong.
Sementara orang yang menyanjung
Cuma sederhana tujuannya
Yaitu kenyangnya perut dan berminyaknya mulut
Dan basahnya benggorokan
Bersandar pada kejelekan orang
Tak bisa dipungkiri, ada yang bermaiksud mengail diair keruh. Orang yang tadinya menyanjung memanfaatkan semua kebodohan ini dengan tujuan yang sangat sederhana, yaitu mulut, perut dan isi perut! Tidak peduli apa akibat atas orang yang disanjungnya yang penting tujuannya bisa tercapai. Maka berhati-hatilah terhadap orang semacam ini. Kembali adiguna menjadi watak yang paling bertanggung jawab atas kebobrokan perilaku manusia.
13
Amrih wareke iku,
yen wus warek gawe nuli gawe umuk,
kang wong akeh kang sinuprih padha wedi,
amasti tanpa pisungsung,
adol sanggap sakehing wong.
Untuk kenyangnya itu
Jika sudah kenyang lantas mengamuk
Dengan harapan orang banyak menjadi takut
Dan memastikan tanpa pemberian
Menjual perhatian kepada banyak orang
Karakter manusia jawa sejak awal boleh jadi sudah menjadi sorotan Sri Susuhunan Mangkunegara IV. Kebiasaan kita adalah jika sudah kenyang (terutama minuman keras) biasanya akan mengamuk. Tujuannya adalah agar orang menjadi takaut. Orang semacam ini biasa menjual perhatian kepada banyak orang. Dia mencari perhatian untuk sebuah sanjungan yang bisa membuatnya berbesar hati.
Kenyataanya, pada saat ini memang karakter orang semacam ini banyak ditemui. Dia masuk ke semua lini bahkan sampai ke pemerintahan, baik legeslatif eksekutif maupun yudikatif. Akibatnya badut-badut yang mabuk dan kekenyangan seringkali terlihat menghiasi kancah politik dan pemerintahan kita.
14
Yen wong mangkono iku,
nora pantes pedhak lan wong agung,
nora wurung anuntun panggawe juti,
nanging ana pantesipun,
wong mangkono didhedhoplok.
Jika orang yang demikian itu
Tidaqk pantas dekat dengan orang besar
Pada akhirnya cuma akan membawa perbuatan nista
Tapi ada baiknya juga,
Orang semacam itu ditendang saja
Padahal, sebenarnya (atau idealnya) orang semacam ini tabu dan tidak pantas berdekatan dengan orang-orang besar. Tetapi kenyataan yang kita terima justyru ironis. Mereka bukan saja denkat,k tetapi justrui menjadi bagian dari orang-orang besar itu. Ironi ini sudah mampu terbaca oleh Mangkunegara IV karenaq boleh jadi salah satu referensi Wulangreh adalah pengalaman pribadi pengarangnya yang kebetulan adalah pengambil keputusan di Kasunanan mangkunegaran pada masa itu.
15
Aja kakehan sanggup,
durung weruh tuture agupruk,
tutur nempil panganggepe wruh pribadi,
pangrasane keh wong nggunggung,
kang wus weruh amelengos.
Jangan terlalu banyak berjanji
Belum tahu saja, bicaranya sudah berlebihan
Berbicara Cuma meniru, seakan tahu dengan mata kepala sendiri
Dikiranya orang banyak akan menyanjung
(tapi) yang sudah tahu akan membuang muka
Yang paling menjengkelkan dari semuanya adalah orang yang banyak berjanji (sekarang banyak kita tremukan orang semacam itu). Mereka berlagak mengetahui sesuatu dan mampu menjalankan sesuatu, padahal jelas diantara mereka tidak mempunyai pengalaman sama sekali. Jangankan pengalaman, melihatpun belum harus memaksakan diri menuruti rasa serakahnya menjadi pemimpin.
Celakanya, karena ketamaklan dan keserakahannya sekarang dia banyak berada di strata pengambil keputusan. Mereka adalah orang-orang yang salah dan berada di tempat yang salah pula.
16
Aja nganggo sireku,
kalakuwan kang mangkono iku,
nora wurung cinirenen den titeni,
mring pawong sanak kang weruh,
nora nana kang pitados.
Janganlah engkau memakai
Kelakuan yang seperti itu
Paling-paling akan dicatat dan diingat
Oleh siapa saja yang mengetahui
Tak akan ada yang percaya
Sekali lagi Wulangreh mengingatkan untuk tidak memakai atau menyandang watak itu. Karena betapapun apa yang kita lakukan akan menjadi catatan sejarah. Jika kelakuan semacam itu tetap saja dipertahankan, orang justru akan tidak percaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar